BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kita sering bertanya mengapa sering
terjadi perbedaan pendapat antar ulama fiqh, padahal itu akan menimbulkan
perpecahan umat Islam.Sebenarnya perbedaan pendapat dalam memahami Al Quran dan
hadis terlah terjadi sejak zaman Rasulullah saw masih hidup.Hal ini sangat bisa
terjadi, sebab setiap orang memiliki pendapat yang berbeda beda. Meskipun
demikian, sebagai umat yang memahami agamanya dengan baik, perbedaan perbedaan
dalam masalah fikih seharusnya tidak menjadikan mereka berpendapat bahwa mereka
berbeda agama atau yang sering terjadi menganggap pendapatnya yang paling
benar, dan sebagainya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian dari pada ikhtilaf?
2.
Apa
saja pembagian ikhtilaf?
3.
Sebab–sebab
apa yang mendasar pada terjadinya perbedaan pendapat ulama dalam fiqh?
4.
Bagaimana
cara menyikapi terjadinya ikhtilaf para ulama fiqh?
C. Tujuan
·
Untuk
mengetahui dan memahami pengertian ikhtilaf (perbedaan pendapat ulama dalam
fiqh)
·
Untuk
mengetahui dan memahami secara rinci pembagian ikhtilaf .
·
Untuk
memahami sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapaat tersebut.
·
Agar
kita tahu bagaimana cara menyikapi ikhtilaf atau perbedaan para ulama fiqh.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ikhtilaf
Ikhtilaf adalah lawan dari ittifaq (kesepakatan). Secara etimologis fiqhiyah,
ikhtilaf di ambil dari bahasa Arab yang berarti berselisih, sedangkan secara terminologis fiqhiyah, ikhtilaf adalah perbedaan paham atau pendapat di kalangan para ulama’ fiqh sebagai hasil
ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.
Ikhtilaf bagi para ulama juga dimaknai
sebagaimana asal katanya, yaitu “perbedaan”. Sebagian ulama membedakan
antara ikhtilaf dan khilaf dengan perincian yang lebih khusus. Dan yang menjadi
catatan penting bahwa ikhtilaf dalam bahasa fiqih bukan diartikan berlawanan
atau pertentangan tetapi perbedaan pendapat. Dengan demikian ikhtilaf merupakan
masalah ijtihad sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber hukum islam.
Fiqih ikhtilaf adalah cabang ilmu fiqih
yang mempelajari tentang perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam
masalah-masalah furu’ (cabang syariat), sebab-sebabnya, serta adab-adab dalam
berbeda pendapat.
Perbedaan (ikhtilaf) dalam masalah furu’
(cabang agama) adalah suatu kemestian bahkan sesungguhnya bisa menjadi rahmat
dan keluasan. Hal ini tak lepas dari beberapa tabi’at: Tabi’at agama (Islam),
misalnya ada ayat muhkamat dan mutsyabihat; Tabi’at bahasa yang
melahirkan tafsiran beragam; Tabi’at manusia, yaitu antara sikap yang cenderung
ketat dengan longgar; Tabi’at alam dan kehidupan yang beragam, senantiasa
berubah sesuai dengan faktor-faktor pengaruh yang variatif dan dinamis seperti
tempat dan zaman.
B.
Pembagian Ikhtilaf
Al-Ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf
Mahmud (terpuji) dan ikhtilaf madzmum(tercela). Ikhtilaf
disebut terpuji jika merupakan hasil ijtihad yang berlandaskan niat mencari
kebenaran dan memenuhi syarat dan adab-adabnya, bahkan meskipun hasil ijtihad
tersebut keliru.
Dari Amr bin Ash Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasalam bersabda
:
“Jika seorang hakim menghukumi (suatu urusan) kemudian dia berijtihad
dan benar maka baginya dua pahala, dan jika ia menghukumi lalu berijtihadi
kemudian salah, maka baginya satu pahala ” … (HR. Bukhori dan
Muslim)
Ikhtilaf yang
terpuji adalah yang terjadi di antara para sahabat dalam masalah cabang-cabang
fiqh. Seperti : hak waris antara kakek dan saudara, jatuhnya talak tiga dalam
satu waktu, di beberapa masalah riba, dan lain sebagainya. Begitu pula
perbedaan yang ada di antara imam madzhab yang sangat banyak kita jumpai dalam
kitab fikih. Maka perbedaan yang terpuji ini justru merupakan bentuk rahmat dan
kelapangan bagi umat manusia.
Adapun bentuk ikhtilaf mahmudz (tercela) adalah hasil dari ijtihad yang
keliru karena bukan berlandaskan pada kebenaran, tetapi permusuhan, nafsu,
fanatisme dan sikap tercela lainnya. Maka kemudian mereka berusaha menafsirkan,
mentakwilkan hal-hal yang sebenarnya sudah final dan qoth’i hukumnya.
Atau bahkan membuat dalil-dalil baru yang palsu untuk menguatkan pendapatnya.
Ikhtilaf mahmudz sering terjadi di faham-faham tertentu seperti :
Syi’ah, khowariz, mu’tazilah dan sebagainya. Inilah bentuk ikhtilaf yang
diisyaratkan dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik, Rasulullah Shalallohu
‘Alaihi Wasalam bersabda :
“Dan sesungguhnya
umatku akan terpecah menjadi 72 golongan, semuanya di neraka kecuali satu
golongan saja yaitu al-jamaah “ … ( HR. Ibnu Majah)
C.
Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf (Perbedaan)
Banyak sebab yang menyebabkan terjadinya perbedaan
pendapat dalam ijtihadnya para ulama’ mujtahid dan diantara faktor-faktor umum
yang menyebabkan timbulnya ikhtilaf ialah;
v Perbedaan dalam Fiqh (Ikhtilaf Mahmud)
Perbedaan dalam furu’(cabang) fiqh yang biasa terjadi antara sahabat
dan juga antara imam madzhab disebabkan oleh banyak hal. Bahkan syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah pun menulis kitab khusus masalah tersebut yang berjudul “ Rof’ul
malam an a’immatil a’laam “.Berikut kami sebutkan sebagian kecil faktor yang
menyebabkan adanya perbedaan tersebut, sebagai gambaran umum bagi kita dalam
memahami perbedaan fiqh yang ada dalam masyarakat.
1. Perbedaan pada kecenderungan
dan tabiat manusia,serta tingkat pemahaman akal yang berbeda.
Ibnul Qayyim mengatakan : " terjadinya perbedaan
diantara manusia adalah hal yang sangat pantas dan harus terjadi, karena mereka
juga berbeda keinginan, pemahaman dan kekuatan logikanya".
Contoh riilnya apa yang terjadi pada Sahabat Umar ra dan Abu Bakar pada
kebijakan tawanan perang Badr. Umar yang cenderung keras dan tegas berpendapat
untuk membunuh tawanan perang tersebut, sedang Abu Bakar yang dikenal dengan
kelembutannya cenderung membolehkan tawanan tersebut dibebaskan dengan
tebusan.
Contoh lain dalam masalah ini adalah
perbedaan dalam masalah anjuran mencium dan mengusap Hajar Aswad dalam ibadah
Thowaf. Ibnu Umar ra dengan semangatnya tetap ikut berdesak-desakan untuk dapat
mencium Hajar Aswad, sementara Ibnu Abbas cenderung untuk menghindari hal
tersebut dan cukup hanya dengan memberi isyarat atau melambaikan tangan saja.
2. Perbedaan karena
tidak sampainya dalil (nash) pada salah satu pihak, atau salah satu pihak tidak
mengetahui bahwa dalil tersebut sudah dinaskh (hapus).
Ada kalanya ada
sebuah nash yang tidak sampai pada salah satu pihak, maka ia beramal dengan
dalil lain, baik berupa dhohir ayat, hadits maupun qiyas dan istishhab. Ibnu
Taimiyah mengatakan : "sebab ini adalah yang paling banyak menjadikan
perbedaan diantara para salaf, karena menguasai seluruh hadits Nabi SAW itu
tidak akan dapat dilakukan oleh seorangpun dari umat ini.
Contoh riilnya
adalah Abu Bakar ra yang sempat menghukumi bahwa tidak ada jatah warisan bagi
nenek, kemudian setelah mendapat hadits lain dari Mughiroh maka kemudian ia
menetapkan jatah seperenam bagi nenek dalam masalah warisan.
3. Perbedaan dalam
menilai kuat tidaknya suatu hadits.
Maka yang
menganggap kuat akan beramal dengannya, sementara yang menganggap lemah akan
beramal dengan hadits lain yang berbeda maknanya. Contoh dalam masalah ini
banyak tersebar dalam kitab fikh, seperti masalah sholat Tasbih ada yang
menganggapnya sunnah dan sebagian lain melarangnya, karena perbedaan dalam
menilai kuat dan lemahnya sebuah hadits.
4. Perbedaan dalam
memahami lafadz sebuah dalil .
Sebagian besar perbedaan yang ada terjadi karena dua sebab
utama. Pertama, karena memang ada lafadz yang dianggap asing (gharib) atau
mempunyai makna yang beragam dan berbeda. Seperti lafadz Quru’ dalam masalah
perceraian (talak).
Atau sebab Kedua, karena satu pihak memaknai secara mutlak (hakekatnya) dan ada
yang memaknainya secara kias (majazi).
Contoh dalam masalah ini , kata 'al-lams' yang membatalkan wudhu. Ada
yang mengartikan hakikatnya yaitu menyentuh (kulit) sudah membatalkan. Ada pula
yang mengkiaskan dengan bersetubuh (jimak), sehingga menyentuh tidak
membatalkan. Begitu pula dalam masalah penetapan awal ramadhan dengan rukyah.
Lafadz rukyah dalam hadits ada yang diartikan melihat dengan mata kepala, dan
ada yang memaknai melihat dengan banyak cara, seperti hisab.
5. Perbedaan dalam
metodologi pengambilan sebuah hukum (istinbath).
Dalam kajan Ushul Fiqh, kita mengenal bahwa setiap imam mempunyai
prioritas yang berbeda-beda dalam menentukan urutan dalil syar’inya. Setelah
mereka bersepakat urutan pertama dan kedua adalah Al-Quran dan Sunnah, maka
urutan berikutnya terdapat banyak perbedaan. Bahkan ada sebuah dalil bagi
madzhab tertentu yang mungkin tidak dianggap oleh ulama madzhab lainnya.
v Menurut Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah:
1. Barangkali karena haditsnya belum
sampai kepadanya.
2. Hadits telah sampai tetapi tidak tsabat
(kuat) baginya. Mungkin menyangkut orang yang menyampaikannya atau orang yang
menyampaikan sebelumnya atau tokoh-tokoh sanadnya yang mungkin tidak ia kenal,
tertuduh atau jelek hafalannya. Atau tidak sampai kepadanya dengan sanad yang
bersambung atau ia tidak yakin dengan matan (redaksi) hadits meskipun ia
telah diriwayatkan oleh banyak perowi lain yang terpercaya bahkan dengan sanad
yang bersambung. Ini banyak terjadi di kalangan tabi’in dan tabi’ihim sampai
ulama-ulama terkenal setelahnya.
3. Ia meyakini haditsnya dha’if
dan ini berbeda dengan keyakinan yang lain lantaran penalaran yang dilakukan
berbeda dengan yang lain. Hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab, antara
lain: Yang memberi hadits berbeda pendapat, yang satu mengatakan dha’if
yang lain mengatakan shahih. Padahal pengetahuan tentang rijalul
hadits sangat luas. Atau yang memberi hadits tidak yakin betul bahwa
dirinya mendengarkan dari penyampai sebelumnya sementara pemberi hadits yang
lain yakin betul bahwa dirinya mendengarkannya. Dan sebagainya.
4. Ia mensyaratkan dalam khabar
wahid (riwayat dari satu orang) itu harus adil dan penghafal kuat,
sementara yang lain tidak mensyaratkan. Misalnya yang lain mensyaratkan
ditimbangnya hadits dengan tolok ukur Kitab dan Sunnah, sementara yang lain
lagi mensyaratkan bahwa penyampai hadits harus faqih bila isinya berbeda
dengan qiyas-nya ushul. Dan yang lain lagi mensyaratkan dimana haditsnya
harus sudah dikenal dan tersebar..dsb.
5. Barangkali haditsnya sudah sampai
kepadanya dan ia mengakui kekuatannya, akan tetapi ia lupa.
6. Tidak tahu akan dalalah
haditsnya. Mungkin kata-katanya asing baginya, atau ma’na yang diketahui sesuai
dengan bahasa masyarakatnya berbeda dengan yang dikehendaki oleh Nabi SAW. Atau
terkadang kata-katanya memiliki makna ganda, makna global atau ia ragu
menentukan apakah pengertiannya hakiki atau majazi (kias). Atau
bisa jadi dalalah nash-nya tersembunyi. Padahal pengertian sebuah
kalimat itu sangat beragam dan masing-masing orang bisa berbeda satu sama lain.
7. Ia berkeyakinan bahwa tak ada dalalah
dalam hadits itu. Perbedaan dengan sebelumnya adalah bahwa yang pertama tidak
mengetahui arah dalalah nya. Sementara yang kedua mengetahuinya namun
menyanggahnya. Ia beranggapan bahwa ada kaidah ushul yang menolak dalalah
tersebut, baik masalah itu benar atau salah. Misal, keyakinan bahwa ‘aam
yang dikhususkan bukanlah hujjah, atau sesuatu yang umum (‘aam)
tetapi memiliki sebab khusus maka ia hanya terbatas pada sebabnya saja atau
bila semata-mata perintah ia tidak mengandung sesuatu yang wajib atau sebaliknya….
Perbedaan masalah fiqh banyak disebabkan oleh kaidah ushul seperti ini.
8. Ia meyakini bahwa dalalah
yang ada pada hadits telah dimentahkan oleh keterangan yang lain. Misal,
dimentahkannya ‘aam oleh khash, muthlaq (tak bersyarat)
oleh muqayyad (bersyarat), perintah muthlaq oleh penafian wajib, hakikat
(arti sebenarnya) oleh majaz (arti kias) dan lain-lain.
9. Keyakinan bahwa hadits itu telah di-dha’if-kan
(dianggap lemah), di-nasakh (dihapus) atau di-ta’wil (diartikan
lain, interpretasi, tafsir) bila mungkin, oleh keterangan yang setingkat sesuai
kesepakatan ulama. Seperti oleh ayat, oleh hadits yang lain atau ijma’
ulama.
10. Ia meyakini bahwa hadist itu telah
di-dha’if-kan, di-ta’wil atau
di-nasakh, sementara yang lain tidak meyakini demikian.
D.
Cara Menyikapi Ikhtilaf Para Ulama
Fiqh
Sesungguhnya
setiap orang bebas mempertahankan madzhabnya, menjelaskan dan memaparkan semua
dalil dan segala hal yang menguatkan pendapatnya. Akan tetapi tidak dibenarkan
apabila ia menuduh orang yang bertentangan dengan madzhabnya dengan sebutan
ahli bid’ah, sesat, dan fasiq, apalagi permasalahan ini sudah dibahas dan
diteliti oleh para ulama. Meski berbeda pendapat, sesungguhnya para ulama tidak
saling menjelekkan satu sama lain, apalagi menganggap pendapatnya paling benar.
Sesungguhnya perbuatan menyerukan kepada orang-orang bahwa pendapatnya dan
hanya madzhabnya yang paling benar dapat menyebabkan perpecahan umat Islam.
Sesungguhnya
permasalahan yang prinsip di dalam agama Islam telah disepakati oleh para ulama
dahulu dan ulama zaman sekarang. Dan selain itu adalah permasalahan ijtihadiyyah
(hasil ijtihad para ulama), yang mana setiap orang boleh mengikuti madzhab yang
disukainya selama madzhab itu adalah madzhab ulama yang soleh dan memegang
teguh syareat Islam, serta mengikuti petunjuk dan aturan yang telah ditetapkan
oleh Allah dan Rasul-Nya.
Perselisihan
masalah-masalah ijtihadiyyah sudah terjadi sejak zaman sahabat
rodliyallahu ‘anhum. Imam Al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq
mengatakan, “Allah telah memberikan kebaikan kepada kita dengan adanya
perbedaan pendapat para sahabat nabi dalam masalah-masalah ijtihadiyyah.
Karena dengan begitu kita bisa lebih bebas memilih amalan dan pendapat yang
kita sukai”.
Imam
Sufyan ats-Tsaruri mengatakan, “apabila engkau melakukan suatu amalan yang
diperselisihkan oleh para ulama dan engkau melihat amalan seseorang yang tidak
sama denganmu, maka janganlah engkau melarangnya” (khilyatul auliyaa).
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “hendaknya seorang faqih tidak memaksakan manusia
untuk mengikuti madzhabnya” (al-adaab as-syar’iyyah).
Imam
madzhab Hambali, Ibnu Qudamah al-Muqoddasi mengatakan, “Sesungguhnya Allah
telah menciptakan para ulama, yang mana mereka semua adalah orang-orang yang
paling bisa memahami kaidah-kaidah agama. Mereka adalah orang yang bisa
menjelaskan permasalahan-permasalahan hukum. Kesepakatan mereka mengenai suatu
hal adalah dalil buat kita. Dan perbedaan meereka mengenai hukum suatu hal
adalah rahmat” (al-mughni). Dikisahkan ada seseorang yang mengarang
sebuah kitab dalam masalah perbedaan pendapat ulama seputar ilmu fiqih. Imam
Ahmad lantas berkata padanya “janganlah engkau menamakan kitabmu ini dengan ikhtilaaf
(perbedaan), tapi namakan kitab ini dengan kitaabus si’a’ah (kitab yang
menjelaskan tentang luas dan tolerannya hukum Islam).
Meskipun
seseorang telah yakin dengan kebenaran madzhab dan pendapatnya serta meyakini
kesalahan pendapat orang yang berbeda dengannya, ia tidak boleh mengatakan
orang lain sebagai ahli bid’ah atau ahli fasiq. Imam al-Khafidz adz-Dzahabi
mengatakan “apabila ada seorang mujtahid yang salah di dalam ijtihadnya kita
tidak boleh menjulukinya sebagai ahli bid’ah, fasiq, dan sesat. Sebab kesalahan
seperti itu adalah kesalahan yang dimaafkan oleh Allah ta’ala. Sesunggunya para
ulama dan para mujtahid adalah orang-orang yang memiliki derajat dan kedudukan
yang mulia di sisi Allah. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa mengajak
manusia menuju Allah ta’ala (siyar a’laam an-nubalaa’). Ibnu Taymiyah
mengatakan “apabila kami berpegang pada suatu pendapat di dalam masalah yang
diperselisihkan, kami tidak menyalahkan dan menjelekkan pendapat ulama lainnya”
(al-adab as-syar’iyah, Ibnu Muflih).
Dari
penjelasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat diantara
para ulama adalah rahmat di dalam agama Islam, dengan ketentuan ulama yang kita
ikuti harus memenuhi syarat yang diperlukan untuk melakukan ijtihad dan
mengambil hukum dari dalil al-Qur’an dan al-Hadits. Adapun ajakan seseorang
untuk mengikuti pendapatnya dengan mengatakan bahwa pendapatnya yang paling
benar dan pendapat yang lainnya itu salah dan menganggap orang yang berbeda
pendapat dengannya sebagai ahli bid’ah, fasiq dan sesat adalah salah. Dan hal
ini dapat menimbulkan perpecahan dan mengakibatkan permusuhan diantara umat
Islam.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Banyak sebab yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dikalangan para ulama
fiqh’ baik sebab itu muncul dari internal maupun eksternal yang pada akhirnya
berdampak pada perbedaan istinbath dan ijtihad yang diambil antara para ulama,
tapi semua itu bukanlah suatu hal yang tercela karena setiap insan tercipta
dengan keistimewaan masing-masing begitu pula para ulama memiliki tingkatan
pemahaman masing-masing dalam keilmuannya hanya saja kita sebagai pengikut janganlah
menjadi seorang yang sangat fanatik akan pilihan kita yang alhirnya terkadang
bisa menimbulkan perselisihan yang tak berujung.
Nah, dengan kita mengetahui sebab-musabab yang memicu perbedaan pendapat
dikalangan ulama yang mengakibatkanperbedaan istinbatul ahkam menjadikan kita
lebih tenag dalam mengamalkan hokum yang ada dan jua bisa menerima perbedaan
yang berada disekitar kita. Allohumusta’an
DAFTAR PUSTAKA
http://nurahmad007.wordpress.com/2014/09
http://fmghifari.blogspot.com/2014/09
http://syariahislamonline.blogspot.com/2014/09/sebab-sebab-ikhtilaf-dalam-fiqih.html
http://www.islamnyamuslim.com/2014/09