Selasa, 16 September 2014

perbedaan pendapat ulama dalam fiqih

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kita sering bertanya mengapa sering terjadi perbedaan pendapat antar ulama fiqh, padahal itu akan menimbulkan perpecahan umat Islam.Sebenarnya perbedaan pendapat dalam memahami Al Quran dan hadis terlah terjadi sejak zaman Rasulullah saw masih hidup.Hal ini sangat bisa terjadi, sebab setiap orang memiliki pendapat yang berbeda beda. Meskipun demikian, sebagai umat yang memahami agamanya dengan baik, perbedaan perbedaan dalam masalah fikih seharusnya tidak menjadikan mereka berpendapat bahwa mereka berbeda agama atau yang sering terjadi menganggap pendapatnya yang paling benar, dan sebagainya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari pada ikhtilaf?
2.      Apa saja pembagian  ikhtilaf?
3.      Sebab–sebab apa yang mendasar pada terjadinya perbedaan pendapat ulama dalam fiqh?
4.      Bagaimana cara menyikapi terjadinya ikhtilaf para ulama fiqh?
C.    Tujuan
·         Untuk mengetahui dan memahami pengertian ikhtilaf (perbedaan pendapat ulama dalam fiqh)
·         Untuk mengetahui dan memahami secara rinci pembagian ikhtilaf .
·         Untuk memahami sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapaat tersebut.
·         Agar kita tahu bagaimana cara menyikapi ikhtilaf atau perbedaan para ulama fiqh.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ikhtilaf
Ikhtilaf adalah lawan dari ittifaq (kesepakatan). Secara etimologis fiqhiyah, ikhtilaf di ambil dari bahasa Arab yang berarti berselisih, sedangkan secara terminologis fiqhiyah, ikhtilaf adalah perbedaan paham atau pendapat di kalangan para ulama’ fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.
Ikhtilaf bagi para ulama juga dimaknai sebagaimana asal katanya, yaitu “perbedaan”. Sebagian ulama membedakan antara ikhtilaf dan khilaf dengan perincian yang lebih khusus. Dan yang menjadi catatan penting bahwa ikhtilaf dalam bahasa fiqih bukan diartikan berlawanan atau pertentangan tetapi perbedaan pendapat. Dengan demikian ikhtilaf merupakan masalah ijtihad sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber hukum islam.
Fiqih ikhtilaf adalah cabang ilmu fiqih yang mempelajari tentang perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam masalah-masalah furu’ (cabang syariat), sebab-sebabnya, serta adab-adab dalam berbeda pendapat.
 Perbedaan (ikhtilaf) dalam masalah furu’ (cabang agama) adalah suatu kemestian bahkan sesungguhnya bisa menjadi rahmat dan keluasan. Hal ini tak lepas dari beberapa tabi’at: Tabi’at agama (Islam), misalnya ada ayat muhkamat dan mutsyabihat; Tabi’at bahasa yang melahirkan tafsiran beragam; Tabi’at manusia, yaitu antara sikap yang cenderung ketat dengan longgar; Tabi’at alam dan kehidupan yang beragam, senantiasa berubah sesuai dengan faktor-faktor pengaruh yang variatif dan dinamis seperti tempat dan zaman.






B.  Pembagian Ikhtilaf

Al-Ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf Mahmud (terpuji) dan ikhtilaf madzmum(tercela). Ikhtilaf disebut terpuji jika merupakan hasil ijtihad yang berlandaskan niat mencari kebenaran dan memenuhi syarat dan adab-adabnya, bahkan meskipun hasil ijtihad tersebut keliru.
Dari Amr bin Ash Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasalam bersabda :
“Jika seorang hakim menghukumi (suatu urusan) kemudian dia berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, dan jika ia menghukumi lalu berijtihadi kemudian salah, maka baginya satu pahala ” … (HR. Bukhori dan Muslim)
Ikhtilaf yang terpuji adalah yang terjadi di antara para sahabat dalam masalah cabang-cabang fiqh. Seperti : hak waris antara kakek dan saudara, jatuhnya talak tiga dalam satu waktu, di beberapa masalah riba, dan lain sebagainya. Begitu pula perbedaan yang ada di antara imam madzhab yang sangat banyak kita jumpai dalam kitab fikih. Maka perbedaan yang terpuji ini justru merupakan bentuk rahmat dan kelapangan bagi umat manusia.
Adapun bentuk ikhtilaf mahmudz (tercela) adalah hasil dari ijtihad yang keliru karena bukan berlandaskan pada kebenaran, tetapi permusuhan, nafsu, fanatisme dan sikap tercela lainnya. Maka kemudian mereka berusaha menafsirkan, mentakwilkan hal-hal yang sebenarnya sudah final dan qoth’i hukumnya. Atau bahkan membuat dalil-dalil baru yang palsu untuk menguatkan pendapatnya.
Ikhtilaf mahmudz sering terjadi di faham-faham tertentu seperti : Syi’ah, khowariz, mu’tazilah dan sebagainya. Inilah bentuk ikhtilaf yang diisyaratkan dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik, Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasalam bersabda :
“Dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 72 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja yaitu al-jamaah “ … ( HR. Ibnu Majah)



C.    Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf (Perbedaan)
Banyak sebab yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam ijtihadnya para ulama’ mujtahid dan diantara faktor-faktor umum yang menyebabkan timbulnya ikhtilaf ialah;
v   Perbedaan dalam Fiqh (Ikhtilaf Mahmud) 
Perbedaan dalam furu’(cabang) fiqh yang biasa terjadi antara sahabat dan juga antara imam madzhab disebabkan oleh banyak hal. Bahkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun menulis kitab khusus masalah tersebut yang berjudul “ Rof’ul malam an a’immatil a’laam “.Berikut kami sebutkan sebagian kecil faktor yang menyebabkan adanya perbedaan tersebut, sebagai gambaran umum bagi kita dalam memahami perbedaan fiqh yang ada dalam masyarakat.
1.      Perbedaan pada kecenderungan dan tabiat manusia,serta tingkat pemahaman akal yang berbeda. 
Ibnul Qayyim mengatakan : " terjadinya perbedaan diantara manusia adalah hal yang sangat pantas dan harus terjadi, karena mereka juga berbeda keinginan, pemahaman dan kekuatan logikanya".
Contoh riilnya apa yang terjadi pada Sahabat Umar ra dan Abu Bakar pada kebijakan tawanan perang Badr. Umar yang cenderung keras dan tegas berpendapat untuk membunuh tawanan perang tersebut, sedang Abu Bakar yang dikenal dengan kelembutannya cenderung membolehkan tawanan tersebut dibebaskan dengan tebusan.
           Contoh lain dalam masalah ini adalah perbedaan dalam masalah anjuran mencium dan mengusap Hajar Aswad dalam ibadah Thowaf. Ibnu Umar ra dengan semangatnya tetap ikut berdesak-desakan untuk dapat mencium Hajar Aswad, sementara Ibnu Abbas cenderung untuk menghindari hal tersebut dan cukup hanya dengan memberi isyarat atau melambaikan tangan saja.
2.      Perbedaan karena tidak sampainya dalil (nash) pada salah satu pihak, atau salah satu pihak tidak mengetahui bahwa dalil tersebut sudah dinaskh (hapus). 
Ada kalanya ada sebuah nash yang tidak sampai pada salah satu pihak, maka ia beramal dengan dalil lain, baik berupa dhohir ayat, hadits maupun qiyas dan istishhab. Ibnu Taimiyah mengatakan : "sebab ini adalah yang paling banyak menjadikan perbedaan diantara para salaf, karena menguasai seluruh hadits Nabi SAW itu tidak akan dapat dilakukan oleh seorangpun dari umat ini.
Contoh riilnya adalah Abu Bakar ra yang sempat menghukumi bahwa tidak ada jatah warisan bagi nenek, kemudian setelah mendapat hadits lain dari Mughiroh maka kemudian ia menetapkan jatah seperenam bagi nenek dalam masalah warisan.

3.      Perbedaan dalam menilai kuat tidaknya suatu hadits. 
Maka yang menganggap kuat akan beramal dengannya, sementara yang menganggap lemah akan beramal dengan hadits lain yang berbeda maknanya. Contoh dalam masalah ini banyak tersebar dalam kitab fikh, seperti masalah sholat Tasbih ada yang menganggapnya sunnah dan sebagian lain melarangnya, karena perbedaan dalam menilai kuat dan lemahnya sebuah hadits.
4.      Perbedaan dalam memahami lafadz sebuah dalil .
Sebagian besar perbedaan yang ada terjadi karena dua sebab utama. Pertama, karena memang ada lafadz yang dianggap asing (gharib) atau mempunyai makna yang beragam dan berbeda. Seperti lafadz Quru’ dalam masalah perceraian (talak).
Atau sebab Kedua, karena satu pihak memaknai secara mutlak (hakekatnya) dan ada yang memaknainya secara kias (majazi).
Contoh dalam masalah ini , kata 'al-lams' yang membatalkan wudhu. Ada yang mengartikan hakikatnya yaitu menyentuh (kulit) sudah membatalkan. Ada pula yang mengkiaskan dengan bersetubuh (jimak), sehingga menyentuh tidak membatalkan. Begitu pula dalam masalah penetapan awal ramadhan dengan rukyah. Lafadz rukyah dalam hadits ada yang diartikan melihat dengan mata kepala, dan ada yang memaknai melihat dengan banyak cara, seperti hisab.
5.      Perbedaan dalam metodologi pengambilan sebuah hukum (istinbath). 
Dalam kajan Ushul Fiqh, kita mengenal bahwa setiap imam mempunyai prioritas yang berbeda-beda dalam menentukan urutan dalil syar’inya. Setelah mereka bersepakat urutan pertama dan kedua adalah Al-Quran dan Sunnah, maka urutan berikutnya terdapat banyak perbedaan. Bahkan ada sebuah dalil bagi madzhab tertentu yang mungkin tidak dianggap oleh ulama madzhab lainnya.

v  Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
1.      Barangkali karena haditsnya belum sampai kepadanya.
2.      Hadits telah sampai tetapi tidak tsabat (kuat) baginya. Mungkin menyangkut orang yang menyampaikannya atau orang yang menyampaikan sebelumnya atau tokoh-tokoh sanadnya yang mungkin tidak ia kenal, tertuduh atau jelek hafalannya. Atau tidak sampai kepadanya dengan sanad yang bersambung atau ia tidak yakin dengan matan (redaksi) hadits meskipun ia telah diriwayatkan oleh banyak perowi lain yang terpercaya bahkan dengan sanad yang bersambung. Ini banyak terjadi di kalangan tabi’in dan tabi’ihim sampai ulama-ulama terkenal setelahnya.
3.      Ia meyakini haditsnya dha’if dan ini berbeda dengan keyakinan yang lain lantaran penalaran yang dilakukan berbeda dengan yang lain. Hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab, antara lain: Yang memberi hadits berbeda pendapat, yang satu mengatakan dha’if yang lain mengatakan shahih. Padahal pengetahuan tentang rijalul hadits sangat luas. Atau yang memberi hadits tidak yakin betul bahwa dirinya mendengarkan dari penyampai sebelumnya sementara pemberi hadits yang lain yakin betul bahwa dirinya mendengarkannya. Dan sebagainya.
4.      Ia mensyaratkan dalam khabar wahid (riwayat dari satu orang) itu harus adil dan penghafal kuat, sementara yang lain tidak mensyaratkan. Misalnya yang lain mensyaratkan ditimbangnya hadits dengan tolok ukur Kitab dan Sunnah, sementara yang lain lagi mensyaratkan bahwa penyampai hadits harus faqih bila isinya berbeda dengan qiyas-nya ushul. Dan yang lain lagi mensyaratkan dimana haditsnya harus sudah dikenal dan tersebar..dsb.
5.      Barangkali haditsnya sudah sampai kepadanya dan ia mengakui kekuatannya, akan tetapi ia lupa.
6.      Tidak tahu akan dalalah haditsnya. Mungkin kata-katanya asing baginya, atau ma’na yang diketahui sesuai dengan bahasa masyarakatnya berbeda dengan yang dikehendaki oleh Nabi SAW. Atau terkadang kata-katanya memiliki makna ganda, makna global atau ia ragu menentukan apakah pengertiannya hakiki atau majazi (kias). Atau bisa jadi dalalah nash-nya tersembunyi. Padahal pengertian sebuah kalimat itu sangat beragam dan masing-masing orang bisa berbeda satu sama lain.
7.      Ia berkeyakinan bahwa tak ada dalalah dalam hadits itu. Perbedaan dengan sebelumnya adalah bahwa yang pertama tidak mengetahui arah dalalah nya. Sementara yang kedua mengetahuinya namun menyanggahnya. Ia beranggapan bahwa ada kaidah ushul yang menolak dalalah tersebut, baik masalah itu benar atau salah. Misal, keyakinan bahwa ‘aam yang dikhususkan bukanlah hujjah, atau sesuatu yang umum (‘aam) tetapi memiliki sebab khusus maka ia hanya terbatas pada sebabnya saja atau bila semata-mata perintah ia tidak mengandung sesuatu yang wajib atau sebaliknya…. Perbedaan masalah fiqh banyak disebabkan oleh kaidah ushul seperti ini.
8.      Ia meyakini bahwa dalalah yang ada pada hadits telah dimentahkan oleh keterangan yang lain. Misal, dimentahkannya ‘aam oleh khash, muthlaq (tak bersyarat) oleh muqayyad (bersyarat), perintah muthlaq oleh penafian wajib, hakikat (arti sebenarnya) oleh majaz (arti kias) dan lain-lain.
9.      Keyakinan bahwa hadits itu telah di-dha’if-kan (dianggap lemah), di-nasakh (dihapus) atau di-ta’wil (diartikan lain, interpretasi, tafsir) bila mungkin, oleh keterangan yang setingkat sesuai kesepakatan ulama. Seperti oleh ayat, oleh hadits yang lain atau ijma’ ulama.
10.  Ia meyakini bahwa hadist itu telah di-dha’if-kan, di-ta’wil atau di-nasakh, sementara yang lain tidak meyakini demikian.
D.    Cara Menyikapi Ikhtilaf Para Ulama Fiqh
Sesungguhnya setiap orang bebas mempertahankan madzhabnya, menjelaskan dan memaparkan semua dalil dan segala hal yang menguatkan pendapatnya. Akan tetapi tidak dibenarkan apabila ia menuduh orang yang bertentangan dengan madzhabnya dengan sebutan ahli bid’ah, sesat, dan fasiq, apalagi permasalahan ini sudah dibahas dan diteliti oleh para ulama. Meski berbeda pendapat, sesungguhnya para ulama tidak saling menjelekkan satu sama lain, apalagi menganggap pendapatnya paling benar. Sesungguhnya perbuatan menyerukan kepada orang-orang bahwa pendapatnya dan hanya madzhabnya yang paling benar dapat menyebabkan perpecahan umat Islam.

Sesungguhnya permasalahan yang prinsip di dalam agama Islam telah disepakati oleh para ulama dahulu dan ulama zaman sekarang. Dan selain itu adalah permasalahan ijtihadiyyah (hasil ijtihad para ulama), yang mana setiap orang boleh mengikuti madzhab yang disukainya selama madzhab itu adalah madzhab ulama yang soleh dan memegang teguh syareat Islam, serta mengikuti petunjuk dan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Perselisihan masalah-masalah ijtihadiyyah sudah terjadi sejak zaman sahabat rodliyallahu ‘anhum. Imam Al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq mengatakan, “Allah telah memberikan kebaikan kepada kita dengan adanya perbedaan pendapat para sahabat nabi dalam masalah-masalah ijtihadiyyah. Karena dengan begitu kita bisa lebih bebas memilih amalan dan pendapat yang kita sukai”.
Imam Sufyan ats-Tsaruri mengatakan, “apabila engkau melakukan suatu amalan yang diperselisihkan oleh para ulama dan engkau melihat amalan seseorang yang tidak sama denganmu, maka janganlah engkau melarangnya” (khilyatul auliyaa). Imam Ahmad bin Hambal berkata, “hendaknya seorang faqih tidak memaksakan manusia untuk mengikuti madzhabnya” (al-adaab as-syar’iyyah).
Imam madzhab Hambali, Ibnu Qudamah al-Muqoddasi mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan para ulama, yang mana mereka semua adalah orang-orang yang paling bisa memahami kaidah-kaidah agama. Mereka adalah orang yang bisa menjelaskan permasalahan-permasalahan hukum. Kesepakatan mereka mengenai suatu hal adalah dalil buat kita. Dan perbedaan meereka mengenai hukum suatu hal adalah rahmat” (al-mughni). Dikisahkan ada seseorang yang mengarang sebuah kitab dalam masalah perbedaan pendapat ulama seputar ilmu fiqih. Imam Ahmad lantas berkata padanya “janganlah engkau menamakan kitabmu ini dengan ikhtilaaf (perbedaan), tapi namakan kitab ini dengan kitaabus si’a’ah (kitab yang menjelaskan tentang luas dan tolerannya hukum Islam).

Meskipun seseorang telah yakin dengan kebenaran madzhab dan pendapatnya serta meyakini kesalahan pendapat orang yang berbeda dengannya, ia tidak boleh mengatakan orang lain sebagai ahli bid’ah atau ahli fasiq. Imam al-Khafidz adz-Dzahabi mengatakan “apabila ada seorang mujtahid yang salah di dalam ijtihadnya kita tidak boleh menjulukinya sebagai ahli bid’ah, fasiq, dan sesat. Sebab kesalahan seperti itu adalah kesalahan yang dimaafkan oleh Allah ta’ala. Sesunggunya para ulama dan para mujtahid adalah orang-orang yang memiliki derajat dan kedudukan yang mulia di sisi Allah. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa mengajak manusia menuju Allah ta’ala (siyar a’laam an-nubalaa’). Ibnu Taymiyah mengatakan “apabila kami berpegang pada suatu pendapat di dalam masalah yang diperselisihkan, kami tidak menyalahkan dan menjelekkan pendapat ulama lainnya” (al-adab as-syar’iyah, Ibnu Muflih).
Dari penjelasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat diantara para ulama adalah rahmat di dalam agama Islam, dengan ketentuan ulama yang kita ikuti harus memenuhi syarat yang diperlukan untuk melakukan ijtihad dan mengambil hukum dari dalil al-Qur’an dan al-Hadits. Adapun ajakan seseorang untuk mengikuti pendapatnya dengan mengatakan bahwa pendapatnya yang paling benar dan pendapat yang lainnya itu salah dan menganggap orang yang berbeda pendapat dengannya sebagai ahli bid’ah, fasiq dan sesat adalah salah. Dan hal ini dapat menimbulkan perpecahan dan mengakibatkan permusuhan diantara umat Islam.









BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Banyak sebab yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dikalangan para ulama fiqh’ baik sebab itu muncul dari internal maupun eksternal yang pada akhirnya berdampak pada perbedaan istinbath dan ijtihad yang diambil antara para  ulama, tapi semua itu bukanlah suatu hal yang tercela karena setiap insan tercipta dengan keistimewaan masing-masing begitu pula para ulama memiliki tingkatan pemahaman masing-masing dalam keilmuannya hanya saja kita sebagai pengikut janganlah menjadi seorang yang sangat fanatik akan pilihan kita yang alhirnya terkadang bisa menimbulkan perselisihan yang tak berujung.
Nah, dengan kita mengetahui sebab-musabab yang memicu perbedaan pendapat dikalangan ulama yang mengakibatkanperbedaan istinbatul ahkam menjadikan kita lebih tenag dalam mengamalkan hokum yang ada dan jua bisa menerima perbedaan yang berada disekitar kita. Allohumusta’an








DAFTAR PUSTAKA
http://nurahmad007.wordpress.com/2014/09
http://fmghifari.blogspot.com/2014/09
 http://syariahislamonline.blogspot.com/2014/09/sebab-sebab-ikhtilaf-dalam-fiqih.html

http://www.islamnyamuslim.com/2014/09

1 komentar:

  1. PokerStars Casino Promo Code - A Review of Bonuses & Games
    No 먹튀검증 deposit bonuses. · 피망 포커 머니 상 No 실시간 배팅 deposit bonus 룰렛 만들기 rounds available · No deposit bonus codes available. · Free 슬롯 가입 쿠폰 Spins for new players. · No deposit bonus

    BalasHapus