BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Tugas pokok hakim sebagaimana disebutkan
sebelumnya adalah mengadili, memeriksa, dan memutuskan suatu perkara. Hakim
tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau belum ada.
Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa bagi hakim, memutuskan setiap perkara yang
diajukan kepadanya merupakan sebuah kewajiban. Selain itu, hakim juga bertugas
untuk menghubungkan aturan abstrak dalam undang-undang dengan fakta konkret
dari perkara yang diperiksanya. Dalam hubungan ini, apakah hakim, seperti yang
digambarkan oleh Trias Politica Montesquie hanya menerapkan
undang-undang, atau hakim harus menggunakan pikirannya atau penalaran logisnya
untuk membuat interpretasi atau penafsiran terhadap aturan yang ada dalam perundang-undangan?
Perdebatan yang timbul dari pertanyaan tersebut sudah berlangsung dalam waktu
yang lama dan melahirkan berbagai aliran pemikiran dalam ilmu hukum
Maka dalam makalah ini akan dibahas
mengenai aliran aliran hukum, diantaranya aliran legisme, aliran Begriffsjurisprudenze,
aliran freiredit schule, dan lainnya.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Undang-undang, Hakim dan Hukum ?
2. Apa
hubungan Undang-undang, Hakim dan Hukum berdasarkan kepada aliran legisme,
aliran Begriffsjurisprudenze,
aliran freiredit schule, aliran Soziologisme Rechts Schule, dan aliran sistem
hukum terbuka ?
C. Tujuan
Masalah
1. Mengetahui
pengertian Undang-Undang, Hakim dan Hukum.
2. Mengetahui
hubungan Undang-undang, Hakim dan Hukum berdasarkan kepada aliran legisme, aliran
Begriffsjurisprudenze,
aliran freiredit schule, aliran Soziologisme Rechts Schule, dan aliran sistem
hukum terbuka ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Undang-undang, Hakim dan Hukum
I.
Undang – undang
Undang-undang adalah hukum
yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur pemerintahan
yang lainnya. Sebelum disahkan, undang-undang disebut sebagai rancangan Undang-Undang. Undang-undang
berfungsi untuk digunakan sebagai otoritas, untuk mengatur, untuk menganjurkan,
untuk menyediakan (dana), untuk menghukum, untuk memberikan, untuk
mendeklarasikan, atau untuk membatasi sesuatu.
Suatu undang-undang biasanya diusulkan oleh anggota
badan legislatif (misalnya anggota DPR), eksekutif (misalnya presiden),
dan selanjutnya dibahas di antara anggota legislatif. Undang-undang sering kali
diamandemen (diubah) sebelum akhirnya disahkan atau mungkin juga ditolak.
Undang-undang dipandang sebagai salah satu dari tiga
fungsi utama pemerintahan yang berasal dari doktrin pemisahan kekuasaan. Kelompok yang memiliki
kekuasaan formal untuk membuat legislasi disebut sebagai legislator (pembuat
undang-undang), sedangkan badan yudikatif pemerintah memiliki kekuasaan formal untuk
menafsirkan legislasi, dan badan eksekutif
pemerintahan hanya dapat bertindak dalam batas-batas kekuasaan yang telah
ditetapkan oleh hukum perundang-undangan.
II.
Hakim
Secara normatif menurut Pasal 1 ayat (5) UU Komisi
Yudisial No. 22 Tahun 2004 yang dimaksud dengan hakim adalah
hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagimana
dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
sedangkan secara etimologi atau secara umum, Bambang Waluyo, S.H. menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah organ pengadilan yang dianggap
memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung
jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada
tertulis atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang
bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa.
Melihat dari pengertian
hakim yang dijabarkan oleh Bambang Waluyo, S.H maka bisa diketahui
bahwa yang dimaksud hakim olehnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang
tercantum dalam UU No.22 Th 2004, bukankah hakim agung, hakim yang berada
dibawah peradilan, dan juga hakim konstitusi itu juga merupakan organ
pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan
kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu dapat ditegakkan.
Hal ini senada juga dengan apa yang diungkap kan oleh Al. Wisnu Broto,
pendapatnya ialah, yang dimaksud dengan Hakim adalah konkretisasi hukum
dan keadilan secara abstrak, Bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai
wakil tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan
III.
Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam
pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan
kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan
bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat
terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana
yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum
menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi
manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka yang akan
dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari
pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara
dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan
militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan
jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang
merajalela."
B. Hubungan Undang-undang, Hakim dan Hukum berdasarkan kepada setiap
aliran.
I.
Aliran Legisme
Aliran
ini menganggap bahwa semua hukum terdapat dalam UU.
Atau berarti hukum
identik dengan UU. Hakim di dalam melakukan tugasnya terikat pada UU, sehingga
pekerjaannya hanya melakukan pelaksanaan UU belaka (wetstoepassing),
dengan jalan pembentukan silogisme hukum, atau juridischesylogisme,
yaitu suatu deduksi logis dari suatu perumusan yang luas, kepada keadaan
khusus, sehingga sampai kepada suatu kesimpulan. Jadi menentukan perumusan
preposisi mayor pada keadaan preposisi minor, sehingga sampai pada conclusio,
dengan contoh sebagai berikut:
a.
Siapa membeli harus
membayar (mayor)
b.
Si “A” membeli
(minor)
c.
Si “A” harus
membayar (conclusio).
Menurut
aliran ini, mengenai hukum yang primer adalah pengetahuan tentang UU, sedangkan
mempelajari yurisprudensi adalah masalah sekunder. (Purnadi Purbacaraka,
Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan yurisprudensi, 1979).
Aliran legisme
demikian besarnya menganggap kemampuan UU sebagai hukum, termasuk dalam
penyelesaian berbagai permasalahan sosial.
Aliran legisme berkeyakinan bahwa semua persoalan sosial
akan segera terselesaikan apabila telah dikeluarkan undang-undang yang
mengaturnya. Undang-undang dianggapnya sebagai obat yang mujarab, obat yang
manjur. Undang-undang adalah segala-galanya, sekalipun pada kenyataannya tidak
demikian. Pengaruh aliran ini masih berlangsung dibeberapa negara yang telah
maju sekalipun. Aliran
Legisme mempunyai kurang dan lebihnya . Kelebihannya adalah adanya sebuah
kepastian hukum yang dirumuskan karena ada sebuah kodifikasi, lalu
kekurangannya adalah Undang-undang sering ketinggalan zaman, sehingga banyak
kejahatan yang tidak termasuk Undang-undang dan hilangnya rasa keadilan .
Dengan kata lain aliran ini mengartikan bahwa “ Hukum untuk manusia, bukan
manusia untuk hukum “.
Contoh
aliran legisme: ada nenek yang mengambil 2 batang cokelat tanpa meminta dan
membayar. lalu hakim mengsilogismekannya dengan KUHP pasal 362 yang berbunyi “
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak
60 rupiah *tempo dulu*. Setelah disilogismekan hasilnya adalah nenek itu
mencuri 2 batang cokelat dan masuk dalam tindak pidana pencurian pasal 362.
Lalu di vonis dengan penjara selama 4 tahun karena sudah terbukti secara sah
dan meyakinkan.
II.
Aliran Begriffsjurisprudenz
Aliran yang membolehkan hakim melakukan penemuan hukum,
diawali dengan yang dikenal sebagai begriffsjurisprudenz. Aliran ini memulai
memperbaiki kelemahan yang ada pada ajaran legisme.
Aliran ini mengajarkan bahwa sekalipun benar
undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi
kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas.
Aliran ini memandang hukum sebagai satu sistem tertutup,
di mana pengertian hukum tidaklah sebagai sarana melainkan sebagai tujuan,
sehingga teori hukum menjadi teori tentang pengertian (Begriffsjurisprudenz).
Aliran ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim
daripada legisme. Hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang, tetapi
dapat mengambil argumentasinya dari peraturan hukum yang tersirat dalam
undang-undang. Dengan demikian, peradilan lebih bersandar pada ilmu hukum. Maka
kegiatan hakim terdiri dari sistematisasi, penghalusan hukum dan pengolahan
hukum dalam sistem itu melalui penjabaran logis peraturan undang-undang menjadi
berbagai asas hukum. (Mertokusumo, 2001: 96).
III.
Aliran Freiredits Schule
Sebagai kritikan
terhadap aliran Begriffsjurisprudenz, muncul aliran Interessenjurisprudenz
(Freirechtsshule). Menurut aliran ini, undang-undang jelas tidak lengkap.
Undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan hakim dan pejabat
lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan “penemuan
hukum” dengan memperluas dan membentuk peraturan melalui putusannya. Untuk
mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, hakim bahkan boleh menyimpang dari
undang-undang demi kemanfaatan masyarakat. Hanya saja, adanya kebebasan hakim
dalam membuat keputusan dan peraturan, memungkinkan terjadi kesewenang-wenangan
hakim dalam membuat keputusan. Itulah salah satu kelemahan yang dialamatkan
pada aliran ini.
Ini adalah contoh aliran Freiredits Schule:
Fauzi menjadi hakim (amin), terus ada kasus tentang seseorang yang mencuri uang
dengan menggunakan internet (Crack/hacker). lalu didalam kodifikasi tidak
diatur pencurian dengan menggunakan internet, tetapi karena Fauzi menggunakan
aliran bebas sebagai pencipta hukum, maka Fauzi memutus bahwa itu termasuk
tindakan pidana pencurian walaupun lewat dunia internet. Sehingga keputusan Fauzi
ini disebut Aliran bebas dan menjadi Sumber Yurisprudensi.
Freirechtsschule memiliki kurang dan
lebihnya. Kelebihannya adalah hukumnya selalu mengikuti perkembangan
zaman sehingga dirasakan lah keadilan sedangkan kekurangannya adalah
tidak ada sebuah kepastian hukum karena tidak ada kodifikasi secara lengkap dan
sangat memerlukan hakim yang memiliki rasa keadilan yang tulus tidak mau
terbujuk oleh KKN (Korupsi , Kolusi dan Nepotisme).
IV.
Aliran Soziologisme Rechts
Schule
Reaksi terhadap Aliran Freiredits Schule, aliran ini
memunculkan aliran soziologische rechtsshule yang pada pokoknya hendak menahan
kemungkinan munculnya kesewenang-wenangan hakim. Aliran ini tidak setuju jika
hakim diberi kebebasan dalam membuat peraturan, akan tetapi tetap mengakui
bahwa hakim tidak hanya sekedar “terompet undang-undang”, melainkan di samping
berdasarkan pada undang-undang, hakim juga harus memperhatikan kenyataan-kenyataan
masyarakat, perasaan dan kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran hukum
warga masyarakat. Aliran ini menolak adanya kebebasan dari hakim sebagaimana
yang diinginkan freirechtsshcule.
Aliran ini menuntut adanya hakim yang memiliki wawasan
ilmu dan pengetahuan yang cukup luas, bukan sekedar menguasai
peraturan-peraturan hukum yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan,
melainkan juga menguasai ilmu ekonomi, sosiologi, politik, antropologi, dan
lain-lain. Untuk memperoleh hakim yang berkualitas seperti itu, banyak
ditentukan pula oleh “proses rekrutmen” calon hakim. Sebaiknya yang diterima
sebagai calon hakim adalah lulusan-lulusan terbaik dari fakultas-fakultas hukum
serta yang memiliki mentalitas yang cukup baik. Selain itu, peningkatan
kualitas bagi para hakim sendiri juga harus senantiasa dilakukan, baik dengan
penataran atau kursus-kursus, maupun dengan sering-sering mengikutkan para
hakim dalam pertemuan-pertemuan ilmiah seperti seminar, simposium, dan
sebagainya.
V.
Aliran Sistem Hukum Terbuka
Aliran Sistem Hukum Terbuka (open system v/h
recht) diwakili oleh Paul Scholten, berpendapat bahwa hukum itu merupakan
suatu sistem; bahwa semua peraturan-peraturan itu saling berhubungan yang satu
ditetapkan oleh yang lain; bahwa peraturan-peraturan tersebut dapat disusun
secara mantik dan untuk yang bersifat khusus dapat dicari aturan-aturan
umumnya, sehingga sampailah pada asas-asas. Tapi ini tidaklah berarti bahwa
dengan bekerja secara mantik semata-mata untuk untuk tiap-tiap hal dapat
dicarikan keputusan hukumnya. Sebab disamping pekerjaan intelek, putusan itu
selalu didasarkan pada penilaian yang menciptakan sesuatu yang baru. Sistem
hukum ialah suatu susunan atau tatanan yang diatur, suatu keseluruhan yang
terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan antara yang satu dengan yang lain,
tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran, untuk
mencapai suatu tujuan (Prof. R. Subekti, S.H.).
Betul bahwa
sistem hukum itu bersifat logis, tetapi karena sifatnya sendiri, ia tidak
tertutup, tidak beku, sebab ia memerlukan putusan-putusan atau
penetapan-penetapan, yang selalu akan menambah luasnya sistem tersebut. Oleh
karena itu, tepat untuk dikatan sistem terbuka.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian
tersebut diatas dapat maka kami sebagai penulis dapat menarik kesimpulan yakni
:
1.
bahwa di dalam tiap-tiap aliran itu terdapat sesuatu yang
dapat dibenarkan serta dapat diambil manfaatnya serta aliran sistem hukum
terbukalah yang meletakkan persoalan undang-undang, hakim, dan hukum ini secara lebih tepat, Berdasarkan
pandangan ini, maka hukum perdata merupakan bagian dari subsistem dari hukum
nasional oleh karena itu asas hukum perdata harus sesuai dan seirama denagn
asas hukum nasional.
2.
Dalam menjalankan aktivitas kehidupan kita sehari-hari,
sebagai seorang warganegara yang baik hendaklah kita mematuhi dan mentaati
hukum yang berlaku baik itu hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis di
dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar