Minggu, 13 Desember 2015

UNDANG-UNDANG, HAKIM DAN HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Tugas pokok hakim sebagaimana disebutkan sebelumnya adalah mengadili, memeriksa, dan memutuskan suatu perkara. Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau belum ada. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa bagi hakim, memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya merupakan sebuah kewajiban. Selain itu, hakim juga bertugas untuk menghubungkan aturan abstrak dalam undang-undang dengan fakta konkret dari perkara yang diperiksanya. Dalam hubungan ini, apakah hakim, seperti yang digambarkan oleh Trias Politica Montesquie hanya menerapkan undang-undang, atau hakim harus menggunakan pikirannya atau penalaran logisnya untuk membuat interpretasi atau penafsiran terhadap aturan yang ada dalam perundang-undangan? Perdebatan yang timbul dari pertanyaan tersebut sudah berlangsung dalam waktu yang lama dan melahirkan berbagai aliran pemikiran dalam ilmu hukum
Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai aliran aliran hukum, diantaranya aliran legisme, aliran  Begriffsjurisprudenze, aliran freiredit schule, dan lainnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Undang-undang, Hakim dan Hukum ?
2.      Apa hubungan Undang-undang, Hakim dan Hukum berdasarkan kepada aliran legisme, aliran  Begriffsjurisprudenze, aliran freiredit schule, aliran Soziologisme Rechts Schule, dan aliran sistem hukum terbuka ?

C.     Tujuan Masalah
1.      Mengetahui pengertian Undang-Undang, Hakim dan Hukum.
2.      Mengetahui hubungan Undang-undang, Hakim dan Hukum berdasarkan kepada aliran legisme, aliran  Begriffsjurisprudenze, aliran freiredit schule, aliran Soziologisme Rechts Schule, dan aliran sistem hukum terbuka ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Undang-undang, Hakim dan Hukum

                                           I.            Undang – undang
Undang-undang adalah hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur pemerintahan yang lainnya. Sebelum disahkan, undang-undang disebut sebagai rancangan Undang-Undang. Undang-undang berfungsi untuk digunakan sebagai otoritas, untuk mengatur, untuk menganjurkan, untuk menyediakan (dana), untuk menghukum, untuk memberikan, untuk mendeklarasikan, atau untuk membatasi sesuatu.
Suatu undang-undang biasanya diusulkan oleh anggota badan legislatif (misalnya anggota DPR), eksekutif (misalnya presiden), dan selanjutnya dibahas di antara anggota legislatif. Undang-undang sering kali diamandemen (diubah) sebelum akhirnya disahkan atau mungkin juga ditolak.
Undang-undang dipandang sebagai salah satu dari tiga fungsi utama pemerintahan yang berasal dari doktrin pemisahan kekuasaan. Kelompok yang memiliki kekuasaan formal untuk membuat legislasi disebut sebagai legislator (pembuat undang-undang), sedangkan badan yudikatif pemerintah memiliki kekuasaan formal untuk menafsirkan legislasi, dan badan eksekutif pemerintahan hanya dapat bertindak dalam batas-batas kekuasaan yang telah ditetapkan oleh hukum perundang-undangan.
                                        II.            Hakim
Secara normatif menurut Pasal 1 ayat (5) UU Komisi Yudisial No. 22 Tahun 2004 yang dimaksud dengan hakim adalah  hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  1945. sedangkan secara etimologi atau secara umum, Bambang Waluyo, S.H. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung  jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa.
Melihat dari pengertian hakim yang dijabarkan oleh Bambang Waluyo, S.H maka bisa diketahui bahwa yang dimaksud hakim olehnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang tercantum dalam UU No.22 Th 2004, bukankah hakim agung, hakim yang berada dibawah peradilan, dan juga hakim konstitusi itu juga merupakan organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung  jawab agar hukum dan keadilan itu dapat ditegakkan. Hal ini senada juga dengan apa yang diungkap kan oleh Al. Wisnu Broto, pendapatnya ialah, yang dimaksud dengan Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan secara abstrak, Bahkan ada  yang menggambarkan hakim sebagai wakil tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan
                                     III.            Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."
B.     Hubungan Undang-undang, Hakim dan Hukum berdasarkan kepada setiap aliran.

                                           I.            Aliran Legisme
      Aliran ini menganggap bahwa semua hukum terdapat dalam UU.  Atau berarti hukum identik dengan UU. Hakim di dalam melakukan tugasnya terikat pada UU, sehingga pekerjaannya hanya melakukan pelaksanaan UU belaka (wetstoepassing), dengan jalan pembentukan silogisme hukum, atau juridischesylogisme, yaitu suatu deduksi logis dari suatu perumusan yang luas, kepada keadaan khusus, sehingga sampai kepada suatu kesimpulan. Jadi menentukan perumusan preposisi mayor pada keadaan preposisi minor, sehingga sampai pada conclusio, dengan contoh sebagai berikut:
a.       Siapa membeli harus membayar (mayor)
b.      Si “A” membeli (minor)
c.       Si “A” harus membayar (conclusio).

      Menurut aliran ini, mengenai hukum yang primer adalah pengetahuan tentang UU, sedangkan mempelajari yurisprudensi adalah masalah sekunder. (Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan yurisprudensi, 1979).
Aliran legisme demikian besarnya menganggap kemampuan UU sebagai hukum, termasuk dalam penyelesaian berbagai permasalahan sosial.
Aliran legisme berkeyakinan bahwa semua persoalan sosial akan segera terselesaikan apabila telah dikeluarkan undang-undang yang mengaturnya. Undang-undang dianggapnya sebagai obat yang mujarab, obat yang manjur. Undang-undang adalah segala-galanya, sekalipun pada kenyataannya tidak demikian. Pengaruh aliran ini masih berlangsung dibeberapa negara yang telah maju sekalipun. Aliran Legisme mempunyai kurang dan lebihnya . Kelebihannya adalah adanya sebuah kepastian hukum yang dirumuskan karena ada  sebuah kodifikasi, lalu kekurangannya adalah Undang-undang sering ketinggalan zaman, sehingga banyak kejahatan yang tidak termasuk Undang-undang dan hilangnya rasa keadilan . Dengan kata lain aliran ini mengartikan bahwa “ Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum “.
      Contoh aliran legisme: ada nenek yang mengambil 2 batang cokelat tanpa meminta dan membayar. lalu hakim mengsilogismekannya dengan KUHP pasal 362 yang berbunyi “ Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 60 rupiah *tempo dulu*. Setelah disilogismekan hasilnya adalah nenek itu mencuri 2 batang cokelat dan masuk dalam tindak pidana pencurian pasal 362. Lalu di vonis dengan penjara selama 4 tahun karena sudah terbukti secara sah dan meyakinkan.
                                        II.            Aliran Begriffsjurisprudenz
Aliran yang membolehkan hakim melakukan penemuan hukum, diawali dengan yang dikenal sebagai begriffsjurisprudenz. Aliran ini memulai memperbaiki kelemahan yang ada pada ajaran legisme.
Aliran ini mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas.
Aliran ini memandang hukum sebagai satu sistem tertutup, di mana pengertian hukum tidaklah sebagai sarana melainkan sebagai tujuan, sehingga teori hukum menjadi teori tentang pengertian (Begriffsjurisprudenz).
Aliran ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim daripada legisme. Hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan hukum yang tersirat dalam undang-undang. Dengan demikian, peradilan lebih bersandar pada ilmu hukum. Maka kegiatan hakim terdiri dari sistematisasi, penghalusan hukum dan pengolahan hukum dalam sistem itu melalui penjabaran logis peraturan undang-undang menjadi berbagai asas hukum. (Mertokusumo, 2001: 96).
                                     III.            Aliran Freiredits Schule
        Sebagai kritikan terhadap aliran Begriffsjurisprudenz, muncul aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsshule). Menurut aliran ini, undang-undang jelas tidak lengkap. Undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan “penemuan hukum” dengan memperluas dan membentuk peraturan melalui putusannya. Untuk mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-undang demi kemanfaatan masyarakat. Hanya saja, adanya kebebasan hakim dalam membuat keputusan dan peraturan, memungkinkan terjadi kesewenang-wenangan hakim dalam membuat keputusan. Itulah salah satu kelemahan yang dialamatkan pada aliran ini.
      Ini adalah contoh aliran Freiredits Schule: Fauzi menjadi hakim (amin), terus ada kasus tentang seseorang yang mencuri uang dengan menggunakan internet (Crack/hacker). lalu didalam kodifikasi tidak diatur pencurian dengan menggunakan internet, tetapi karena Fauzi menggunakan aliran bebas sebagai pencipta hukum, maka Fauzi memutus bahwa itu termasuk tindakan pidana pencurian walaupun lewat dunia internet. Sehingga keputusan Fauzi ini disebut Aliran bebas dan menjadi Sumber Yurisprudensi.
      Freirechtsschule memiliki kurang dan lebihnya. Kelebihannya adalah hukumnya selalu mengikuti perkembangan zaman  sehingga dirasakan lah keadilan sedangkan kekurangannya adalah tidak ada sebuah kepastian hukum karena tidak ada kodifikasi secara lengkap dan sangat memerlukan hakim yang memiliki rasa keadilan yang tulus tidak mau terbujuk oleh KKN (Korupsi , Kolusi dan Nepotisme).

                                     IV.            Aliran Soziologisme Rechts Schule
Reaksi terhadap Aliran Freiredits Schule, aliran ini memunculkan aliran soziologische rechtsshule yang pada pokoknya hendak menahan kemungkinan munculnya kesewenang-wenangan hakim. Aliran ini tidak setuju jika hakim diberi kebebasan dalam membuat peraturan, akan tetapi tetap mengakui bahwa hakim tidak hanya sekedar “terompet undang-undang”, melainkan di samping berdasarkan pada undang-undang, hakim juga harus memperhatikan kenyataan-kenyataan masyarakat, perasaan dan kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran hukum warga masyarakat. Aliran ini menolak adanya kebebasan dari hakim sebagaimana yang diinginkan freirechtsshcule.
Aliran ini menuntut adanya hakim yang memiliki wawasan ilmu dan pengetahuan yang cukup luas, bukan sekedar menguasai peraturan-peraturan hukum yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan, melainkan juga menguasai ilmu ekonomi, sosiologi, politik, antropologi, dan lain-lain. Untuk memperoleh hakim yang berkualitas seperti itu, banyak ditentukan pula oleh “proses rekrutmen” calon hakim. Sebaiknya yang diterima sebagai calon hakim adalah lulusan-lulusan terbaik dari fakultas-fakultas hukum serta yang memiliki mentalitas yang cukup baik. Selain itu, peningkatan kualitas bagi para hakim sendiri juga harus senantiasa dilakukan, baik dengan penataran atau kursus-kursus, maupun dengan sering-sering mengikutkan para hakim dalam pertemuan-pertemuan ilmiah seperti seminar, simposium, dan sebagainya.
                                        V.            Aliran Sistem Hukum Terbuka
      Aliran Sistem Hukum Terbuka (open system v/h recht) diwakili oleh Paul Scholten, berpendapat bahwa hukum itu merupakan suatu sistem; bahwa semua peraturan-peraturan itu saling berhubungan yang satu ditetapkan oleh yang lain; bahwa peraturan-peraturan tersebut dapat disusun secara mantik dan untuk yang bersifat khusus dapat dicari aturan-aturan umumnya, sehingga sampailah pada asas-asas. Tapi ini tidaklah berarti bahwa dengan bekerja secara mantik semata-mata untuk untuk tiap-tiap hal dapat dicarikan keputusan hukumnya. Sebab disamping pekerjaan intelek, putusan itu selalu didasarkan pada penilaian yang menciptakan sesuatu yang baru. Sistem hukum ialah suatu susunan atau tatanan yang diatur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan antara yang satu dengan yang lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran, untuk mencapai suatu tujuan (Prof. R. Subekti, S.H.).
Betul bahwa sistem hukum itu bersifat logis, tetapi karena sifatnya sendiri, ia tidak tertutup, tidak beku, sebab ia memerlukan putusan-putusan atau penetapan-penetapan, yang selalu akan menambah luasnya sistem tersebut. Oleh karena itu, tepat untuk dikatan sistem terbuka.











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas dapat maka kami sebagai penulis dapat menarik kesimpulan yakni :
1.      bahwa di dalam tiap-tiap aliran itu terdapat sesuatu yang dapat dibenarkan serta dapat diambil manfaatnya serta aliran sistem hukum terbukalah yang meletakkan persoalan undang-undang, hakim,  dan hukum ini secara lebih tepat, Berdasarkan pandangan ini, maka hukum perdata merupakan bagian dari subsistem dari hukum nasional oleh karena itu asas hukum perdata harus sesuai dan seirama denagn asas hukum nasional.

2.      Dalam menjalankan aktivitas kehidupan kita sehari-hari, sebagai seorang warganegara yang baik hendaklah kita mematuhi dan mentaati hukum yang berlaku baik itu hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis di dalam masyarakat.

Rizqy Rustandi


Rabu, 20 Mei 2015

Nahdlatul Ulama dan Sistem Pesantren Ala NU



A.    Latar belakang berdirinya NU
            Menurut sejarah, Organisasi Islam Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, Nahdlatul Ulama berasal dari dua kata dalam bahasa arab yaitu Nahdlatul (kebangkitan) dan Ulama (ulama, kyai, tokoh faham agama). Jadi, Nahdlatul Ulama mempunyai arti yaitu  kebangkitan para ulama. Konsep pendidikan yang khas yang melekat pada organisasi ini dijadikan sebagai sistem pendidikan ala NU, Deliar Noer menyebutnya dengan kalangan tradisi. Sehingga NU terkenal dengan system pondok pesantren tradisinya (salafi). Seperti pondok pesantren Tebu Ireng yang didirikan olem Hasyim Asy’ari, pondok pesantren Alhikamussalafiyah Cipulus yang didirikan oleh Mama Izudin, pondok pesantren Tambak Beras oleh Abdul Wahab HAsbullah, dan pesantren yang tidak jauh dari Tambak Beras oleh KH Bisri. Para pendiri pesantren ini  adalah tokoh dari NU dan pesantren ini sangat identik dengan pesantren NU. Dalam karya tulis ini kemudian saya akan membahas system dan karakteristik lembaga pondok pesantren.
            Sejarah menulis bahwa pondok pesantren di Indonesia telah ada jauh sebelum NU berdiri sebagai organisasi, bahkan lembaga pendidikan tertua di Indonesia adalah pondok pesantren sehingga sebagian sejarawan menilai sistem pondok pesantren asli (geniun) berasal dari peradaban Indonesia. NU kemudian mengukuhkan identitas dirinya di jalur pendidikan melalui pondok pesantren. Meskipun semua pondok pesantren yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU tidak berafiliasi langsung ke Organisasi induknya (NU). Pondok menjadi milik Kiainya (yang berafiliasi NU), sebagai pendiri sekaligus pemimpinnya.
            Berbicara soal pendidikan tentunya tidak akan pernah lepas dengan ideologi yang melatar belakangi sebuah pendidikan. William F. O’Neil dalam bukunya Ideologi-Ideologi Pendidikan, memaparkan dengan jelas berbagai bentuk ideologi-idelogi pendidikan dunia. Berdasarkan pemetaannya ada dua aliran ideologi besar yang cukup berpengaruh, dengan varian masing-masing, yaitu pertama, ideologi konservatif dengan variasi: fundamentalisme, intelektualisme, dan konservatisme; kedua, ideologi liberalis dengan variasi: liberalism, liberasionisme, dan anarkisme[1].  Nahdlatul Ulama  dengan ideologi Aswaja (ahlusunna wal jama’ah) yang sangat kental dan masih dilestarikan sampai sekarang mempertahankan tradisi tentunya akan sangat jelas masuk pada kategori berideologi konservatif, meskipun NU tidak pernah mungkin menetapkan seperti itu. Ideologi secara etimologi dibentuk dari kata idea, berarti pemikiran, konsep, atau gagasan, dan logos artinya pengetahuan. Dengan demikian ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, tentang keyakinan atau gagasan. Menurut Sastra Pratedja membatasinya secara singkat sekali, bahwa yang disebut ideologi adalah “seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisasi menjadi suatu sistem yang teratur[2].
Kita tahu bahwa Benteng perlawanan terhadap golongan pembaharu yang didirikan kalangan tradisi di pulau Jawa berbentuk Nahdlatul Ulama. Kehadiran dan kelahiran NU sebagai organisasi para ulama di tengah-tengah masyarakat yang plural dan majemuk seperti Indonesia bukan suatu kebetulan[3]. Terdapat pilihan-pilihan logis dan sadar atas terbentuknya NU oleh para ulama tradisional waktu itu. Jika diteliti secara seksama, sejak kelahirannya, NU telah dihadapkan pada pertarungan ideologi yang ada sebelumnya. Tidak hanya ideologi keagamaan yang ada di tanah air, tetapi, dan ini yang lebih penting adalah ideologi yang “diimpor” dari Mesir dan Saudi Arabia. Berbeda dengan ormas keagamaan lainnya, kehadiran NU merupakan bagian dari desakan local untuk merawat tradisi yang saat itu terancam oleh kalangan reformis atau modernis[4]. Ini adalah faktor dari dalam atau internal di tanah air. Tetapi, dari sisi eksternal, kehadiran NU, langsung atau tidak langsung sebagai bentuk resistensi terhadap faham wahabisme di satu sisi dan menguatnya kelompok pembeharuan di Mesir yang dikomandoi oleh Jamaluddin al-Afghani dan Rasyid Ridho. Meskipun itu bukanlah satu-satunya sebab yang merespon berdirinya NU[5].
            Sedikit menyinggung sejarah pendidikan NU, Pada Muktamar NU ke-3 (1928), elite NU memprakarsai gerakan peduli pendidikan dengan mengajak para Muktamirin untuk mengunjungi pesantren-pesantren besar seperti Tambak Beras yang dipimpin KH. Wahab Chasbullah, Denanyar yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri, dan Nganjuk yang dipimpin oleh K. Pathudin Seror Putih. Pada Muktamar NU ke-4 (1929), panitia Muktamar merespon kecenderungan naiknya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendorong para Muktamirin sepakat untuk membentuk wadah khusus yang menangani bidang pendidikan yang bernama Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang diketuai oleh Ustadz Abdullah Ubaid, waktu itu disebut presiden. Pada perkembangan selanjutnya, terbentuklah Lembaga Pendidikan Maârif NU (LPMNU) pada Muktamar NU ke-20 (1959) di Jakarta.
            Dari arena Muktamar ke Muktamar, hingga Muktamar NU ke-30 (1999) di Kediri, Lirboyo, Jawa Timur, NU tetap menjadikan sektor pendidikan sebagai mainstream (pemikiran utama). Munas dan Konbes NU tanggal 25-28 Juli 2002 di Pondok Gede Jakarta menghasilkan Taushiyah Pondok Gede Tahun 2002yang mencoba mempertegas kembali posisi bidang pendidikan untuk menjadi prioritas program NU. Untuk menafsirkan lebih rinci, tak lama setelah itu, tepatnya tanggal 22-25 Agustus 2002 di Kawasan Puncak Batu Malang Jawa Timur, diselenggarakan Rapat Kerja LPMNU dan Musyawarah Kerja Perguruan Tinggi NU. Di forum tersebut, NU kembali mematangkan format, strategi dan guidlines (garis panduan) pengembangan pendidikan di lingkungan NU.
            Tidak bisa dikatakan bahwa sistem pendidikan pesantren adalah identik dengan NU, namun Keberadaan pendidikan di wilayah NU berawal dari keberadaan pesantren5). para kiai pesantren, dahulu kala, ketika pulang dari Timur Tengah ke Indonesia, sebagian besar mendirikan pesantren sebagai institusi pendidikan. Oleh karena pendidikan pesantren, maka keilmuan yang diutamakan adalah keagamaan, khususnya fiqih-hukum-yurisprudensi; dan karena kitab fiqih itu kebanyakan berbahasa Arab, maka untuk memahaminya diperlukan ilmu alat berupa nahwuâ sharaf, jadi pesantren mesti memiliki perangkat keilmuan nahwu-sharaf.  
            Jadi keberadaan pendidikan di lingkungan NU sebelum madrasah adalah pesantren. Saat ini pendidikan pesantren berada dalam naungan NU, yang penanganannya dipasrahkan pada Lajnah RMI (Lembaga Rabithah Maâhid Islamiyah), sedangkan pendidikan madrasah berada dalam naungan NU, yang penanganannya diserahkan kepada Lembaga Pendidikan Maârif (LPM). Sekolah NU-Maârif didirikan untuk syiâr Islam. Oleh karena untuka syiâr, maka yang penting ramai, dalam artian yang penting sekolahnya berjumlah banyak. Persoalan kualitas nanti dulu dan pada awalnya- tidak begitu dipedulikan. Akan tetapi pada perkembangan berikutnya, sekolah NU-Maârif mengikuti kebutuhan sebagaimana keberadaan sekolah pada umumnya. Sekolah pada umumnya mengembangkan potensi pokok yang harus dimiliki oleh sekolah yang bersangkutan.
Pendidikan NU mempunyai dua ciri yang esensial;
1.      Al-I’timad alannafsi (berdikari).
2.       Fil Ijtimaâiyah (memasyarakat), artinya dihidupi oleh masyarakat.
           Madrasah atau pesantren itu didirikan oleh masyarakat dan dibiayai sendiri oleh masyarakat. Ketika masyarakat mau belajar atau mau menyekolahkan anaknya di pesantren atau madrasah, mereka hanya ditunjukkan tempatnya oleh kiai, kemudian mereka membangun kamar sendiri. Hal itu sekarang bergeser, pesantren atau madrasah tidak berdikari, mereka juga mencari sumbangan ke pemerintah. Wali santri sekarang tidak otomatis menyumbang kecuali ada tarikan dari pihak sekolah. Jadi tidak ada kesukarelaan seperti dulu, kalau wali santri menitipkan anaknya ke pesantren maka bangunan pesantren menjadi tanggung jawab wali santri.
 
B.     Sistem Pesantren 
            Dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (2001: 100-120), yang berisi kumpulan tulisan dari berbagai sumber. Salah satu judul yang menarik adalah tulisan Hasan Basri dengan judul Pesantren: Karakteristik dan Unsur-Unsur Kelembagaan[6]tulisan ini mencoba untuk memotret sekilas gambaran sistem pesantren dan karakteristiknya. Berangkat dari  definisi teoritis, pesantren menurut Mastuhu, adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari.
            Definisi lain yang diberikan oleh Sudjoko Prasodjo, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seseorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada sntri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren sekurang-kurangnya ada unsur-unsur: kiai, mesjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, dan pondok atau asrama tempat tinggal para santri.


C.    Karakteristik Pendidikan Pesantren Ala NU
1.       Materi Pelajaran dan Metode Pelajaran
    Sebagai lembaga pendidikan Islam, pada dasarnya pesantren hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agama yang dikaji ialah al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsir, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis dan musthalah hadis, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan arudh, tarikh, mantiq dan tasawuf. Kitab yang dikaji umumnya kitab-kitab yang ditulis pada abad pertengahan yang lazim disebut kitab kuning.
    Adapun metode yang lazim dipergunakan dalam pendidikan pesantren ialah  wetonansorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran[7]. Sedangkan metode sorogan ialah metode di mana santri menghadap kiai atau guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Metode hafalan ialah suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Biasanya dalam bentuk syair atau nadzam agar lebih mudah untuk dihafalkan.
2.       Jenjang Pendidikan
    Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seseorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus imtihan (Ujian) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah ke kitab lain. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
3.       Fungsi Pesantren
    Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga social dan penyiar agama. Sementara Azyumardi Azra menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam, dan ketiga, reproduksi ulama. Di samping itu pesantren juga menjadi sentral konsultasi masyarakat yang dating dengan berbagai keperluan seperti minta nasihat, minta doa, dll.
4.       Prinsip-Prinsip Pendidikan Pesantren
Setidak-tidaknya ada dua belas prinsip yang dipegang teguh pesantren:
1.      Theocentric,
2.      suka rela dalam pengabdian;
3.      kearifan;
4.      kesederhanaan;
5.      kolektivitas;
6.      kebebasan terpimpin;
7.      kemandirian;
8.      pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi;
9.      mengamalkan ajaran agama;
10.  belajar di pesantren bukan mencari ijazah;
11.  restu kiai, artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan dan doa dari kiai.
5.       Sarana dan tujuan pesantren
Dalam bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh ciri khas kesederhanaan. Sejak dulu lingkungan atau kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik kini sudah berubah total. Banyak pesantren tradisional yang memiliki gedung yang megah. Namun, kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan prilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan sehari-hari.
Mengenai tujuan pesantren, sampai kini belum ada suatu rumusan yang definitif. antara satu pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnya sama, yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada Allah. Hasil wawancara Mastuhu terhadap pengurus pesantren layak untuk dituliskan, tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, sebagai rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunah nabi), maupun berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘zzul Islami wal muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
6.       Kehidupan Kiai dan Santri
Kegiatan di pesantren berkisar pada pembagian waktu berdasarkan shalat lima waktu. Dengan sendirinya pengertian waktu pagi, siang, dan sore di pesantren menjadi berbeda dengan pengertian di luar.

Setidak-tidaknya ada delapan ciri pendidikan pesantren, sebagai berikut:
1.      Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya;
2.      Kepatuhan santri kepada kiai;
3.      Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren;
4.      Kemandirian amat terasa di pesantren;
5.      Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (ukhwah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren;
6.      Disiplin sangat dianjurkan di pesantren;
7.      Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu segi pendidikan yang diperoleh para santri;
8.      Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai transmisi pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri.






BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Salah satu ormas keagamaan yang kemudian menformulasikan ajaran ASWAJA sebagai dasar ajaran agamanya misalnya adalah Nahdhatul Ulama (NU). Kerangka pemahaman ASWAJA yang dikembangkan NU memiliki karakteristik yang khusus yang mungkin juga membedakan dengan kelompok muslim lainya yaitu bahwa ajaran ASWAJA yang dikembangkan berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang aqidah, Fiqh dan Tasawwuf.
Di bidang Aqidah, model yang diikuti oleh NU adalah pemikiran-pemikiran aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari  dan Abu Mansur al-Maturidi. Pada bidang Fiqh, mengikuti model pemikiran dan metode istinbat hukum yang dikembangkan empat imam madzhab (aimmat al- madzahib al-arba’ah) yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan dibidang Tasawwuf mengikuti model yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali dan Al-Juwaini al-Baghdadi.



DAFTAR PUSTAKA
Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama, Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 4
Artikel Pendidikan Network MENGENALPENDIDIKAN NAHDHATUL ULAMA.htm. akses November 2014


[1] .Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 4
[2] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,Yogyakarta: Pustaka  SM, 2009, h. 145
[3] Deliar Noer, h, 241
[4] Muhammadiyah, Syarikat Islam dan al-Irsyad
[5] A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama, Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia,Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010, h. 22
[6] Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (2001: 100-120)
[7] Pendidikan Pesantren Nahdlatul Ulama, Salafiyah.