Rabu, 20 Mei 2015

Nahdlatul Ulama dan Sistem Pesantren Ala NU



A.    Latar belakang berdirinya NU
            Menurut sejarah, Organisasi Islam Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, Nahdlatul Ulama berasal dari dua kata dalam bahasa arab yaitu Nahdlatul (kebangkitan) dan Ulama (ulama, kyai, tokoh faham agama). Jadi, Nahdlatul Ulama mempunyai arti yaitu  kebangkitan para ulama. Konsep pendidikan yang khas yang melekat pada organisasi ini dijadikan sebagai sistem pendidikan ala NU, Deliar Noer menyebutnya dengan kalangan tradisi. Sehingga NU terkenal dengan system pondok pesantren tradisinya (salafi). Seperti pondok pesantren Tebu Ireng yang didirikan olem Hasyim Asy’ari, pondok pesantren Alhikamussalafiyah Cipulus yang didirikan oleh Mama Izudin, pondok pesantren Tambak Beras oleh Abdul Wahab HAsbullah, dan pesantren yang tidak jauh dari Tambak Beras oleh KH Bisri. Para pendiri pesantren ini  adalah tokoh dari NU dan pesantren ini sangat identik dengan pesantren NU. Dalam karya tulis ini kemudian saya akan membahas system dan karakteristik lembaga pondok pesantren.
            Sejarah menulis bahwa pondok pesantren di Indonesia telah ada jauh sebelum NU berdiri sebagai organisasi, bahkan lembaga pendidikan tertua di Indonesia adalah pondok pesantren sehingga sebagian sejarawan menilai sistem pondok pesantren asli (geniun) berasal dari peradaban Indonesia. NU kemudian mengukuhkan identitas dirinya di jalur pendidikan melalui pondok pesantren. Meskipun semua pondok pesantren yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU tidak berafiliasi langsung ke Organisasi induknya (NU). Pondok menjadi milik Kiainya (yang berafiliasi NU), sebagai pendiri sekaligus pemimpinnya.
            Berbicara soal pendidikan tentunya tidak akan pernah lepas dengan ideologi yang melatar belakangi sebuah pendidikan. William F. O’Neil dalam bukunya Ideologi-Ideologi Pendidikan, memaparkan dengan jelas berbagai bentuk ideologi-idelogi pendidikan dunia. Berdasarkan pemetaannya ada dua aliran ideologi besar yang cukup berpengaruh, dengan varian masing-masing, yaitu pertama, ideologi konservatif dengan variasi: fundamentalisme, intelektualisme, dan konservatisme; kedua, ideologi liberalis dengan variasi: liberalism, liberasionisme, dan anarkisme[1].  Nahdlatul Ulama  dengan ideologi Aswaja (ahlusunna wal jama’ah) yang sangat kental dan masih dilestarikan sampai sekarang mempertahankan tradisi tentunya akan sangat jelas masuk pada kategori berideologi konservatif, meskipun NU tidak pernah mungkin menetapkan seperti itu. Ideologi secara etimologi dibentuk dari kata idea, berarti pemikiran, konsep, atau gagasan, dan logos artinya pengetahuan. Dengan demikian ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, tentang keyakinan atau gagasan. Menurut Sastra Pratedja membatasinya secara singkat sekali, bahwa yang disebut ideologi adalah “seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisasi menjadi suatu sistem yang teratur[2].
Kita tahu bahwa Benteng perlawanan terhadap golongan pembaharu yang didirikan kalangan tradisi di pulau Jawa berbentuk Nahdlatul Ulama. Kehadiran dan kelahiran NU sebagai organisasi para ulama di tengah-tengah masyarakat yang plural dan majemuk seperti Indonesia bukan suatu kebetulan[3]. Terdapat pilihan-pilihan logis dan sadar atas terbentuknya NU oleh para ulama tradisional waktu itu. Jika diteliti secara seksama, sejak kelahirannya, NU telah dihadapkan pada pertarungan ideologi yang ada sebelumnya. Tidak hanya ideologi keagamaan yang ada di tanah air, tetapi, dan ini yang lebih penting adalah ideologi yang “diimpor” dari Mesir dan Saudi Arabia. Berbeda dengan ormas keagamaan lainnya, kehadiran NU merupakan bagian dari desakan local untuk merawat tradisi yang saat itu terancam oleh kalangan reformis atau modernis[4]. Ini adalah faktor dari dalam atau internal di tanah air. Tetapi, dari sisi eksternal, kehadiran NU, langsung atau tidak langsung sebagai bentuk resistensi terhadap faham wahabisme di satu sisi dan menguatnya kelompok pembeharuan di Mesir yang dikomandoi oleh Jamaluddin al-Afghani dan Rasyid Ridho. Meskipun itu bukanlah satu-satunya sebab yang merespon berdirinya NU[5].
            Sedikit menyinggung sejarah pendidikan NU, Pada Muktamar NU ke-3 (1928), elite NU memprakarsai gerakan peduli pendidikan dengan mengajak para Muktamirin untuk mengunjungi pesantren-pesantren besar seperti Tambak Beras yang dipimpin KH. Wahab Chasbullah, Denanyar yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri, dan Nganjuk yang dipimpin oleh K. Pathudin Seror Putih. Pada Muktamar NU ke-4 (1929), panitia Muktamar merespon kecenderungan naiknya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendorong para Muktamirin sepakat untuk membentuk wadah khusus yang menangani bidang pendidikan yang bernama Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang diketuai oleh Ustadz Abdullah Ubaid, waktu itu disebut presiden. Pada perkembangan selanjutnya, terbentuklah Lembaga Pendidikan Maârif NU (LPMNU) pada Muktamar NU ke-20 (1959) di Jakarta.
            Dari arena Muktamar ke Muktamar, hingga Muktamar NU ke-30 (1999) di Kediri, Lirboyo, Jawa Timur, NU tetap menjadikan sektor pendidikan sebagai mainstream (pemikiran utama). Munas dan Konbes NU tanggal 25-28 Juli 2002 di Pondok Gede Jakarta menghasilkan Taushiyah Pondok Gede Tahun 2002yang mencoba mempertegas kembali posisi bidang pendidikan untuk menjadi prioritas program NU. Untuk menafsirkan lebih rinci, tak lama setelah itu, tepatnya tanggal 22-25 Agustus 2002 di Kawasan Puncak Batu Malang Jawa Timur, diselenggarakan Rapat Kerja LPMNU dan Musyawarah Kerja Perguruan Tinggi NU. Di forum tersebut, NU kembali mematangkan format, strategi dan guidlines (garis panduan) pengembangan pendidikan di lingkungan NU.
            Tidak bisa dikatakan bahwa sistem pendidikan pesantren adalah identik dengan NU, namun Keberadaan pendidikan di wilayah NU berawal dari keberadaan pesantren5). para kiai pesantren, dahulu kala, ketika pulang dari Timur Tengah ke Indonesia, sebagian besar mendirikan pesantren sebagai institusi pendidikan. Oleh karena pendidikan pesantren, maka keilmuan yang diutamakan adalah keagamaan, khususnya fiqih-hukum-yurisprudensi; dan karena kitab fiqih itu kebanyakan berbahasa Arab, maka untuk memahaminya diperlukan ilmu alat berupa nahwuâ sharaf, jadi pesantren mesti memiliki perangkat keilmuan nahwu-sharaf.  
            Jadi keberadaan pendidikan di lingkungan NU sebelum madrasah adalah pesantren. Saat ini pendidikan pesantren berada dalam naungan NU, yang penanganannya dipasrahkan pada Lajnah RMI (Lembaga Rabithah Maâhid Islamiyah), sedangkan pendidikan madrasah berada dalam naungan NU, yang penanganannya diserahkan kepada Lembaga Pendidikan Maârif (LPM). Sekolah NU-Maârif didirikan untuk syiâr Islam. Oleh karena untuka syiâr, maka yang penting ramai, dalam artian yang penting sekolahnya berjumlah banyak. Persoalan kualitas nanti dulu dan pada awalnya- tidak begitu dipedulikan. Akan tetapi pada perkembangan berikutnya, sekolah NU-Maârif mengikuti kebutuhan sebagaimana keberadaan sekolah pada umumnya. Sekolah pada umumnya mengembangkan potensi pokok yang harus dimiliki oleh sekolah yang bersangkutan.
Pendidikan NU mempunyai dua ciri yang esensial;
1.      Al-I’timad alannafsi (berdikari).
2.       Fil Ijtimaâiyah (memasyarakat), artinya dihidupi oleh masyarakat.
           Madrasah atau pesantren itu didirikan oleh masyarakat dan dibiayai sendiri oleh masyarakat. Ketika masyarakat mau belajar atau mau menyekolahkan anaknya di pesantren atau madrasah, mereka hanya ditunjukkan tempatnya oleh kiai, kemudian mereka membangun kamar sendiri. Hal itu sekarang bergeser, pesantren atau madrasah tidak berdikari, mereka juga mencari sumbangan ke pemerintah. Wali santri sekarang tidak otomatis menyumbang kecuali ada tarikan dari pihak sekolah. Jadi tidak ada kesukarelaan seperti dulu, kalau wali santri menitipkan anaknya ke pesantren maka bangunan pesantren menjadi tanggung jawab wali santri.
 
B.     Sistem Pesantren 
            Dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (2001: 100-120), yang berisi kumpulan tulisan dari berbagai sumber. Salah satu judul yang menarik adalah tulisan Hasan Basri dengan judul Pesantren: Karakteristik dan Unsur-Unsur Kelembagaan[6]tulisan ini mencoba untuk memotret sekilas gambaran sistem pesantren dan karakteristiknya. Berangkat dari  definisi teoritis, pesantren menurut Mastuhu, adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari.
            Definisi lain yang diberikan oleh Sudjoko Prasodjo, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seseorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada sntri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren sekurang-kurangnya ada unsur-unsur: kiai, mesjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, dan pondok atau asrama tempat tinggal para santri.


C.    Karakteristik Pendidikan Pesantren Ala NU
1.       Materi Pelajaran dan Metode Pelajaran
    Sebagai lembaga pendidikan Islam, pada dasarnya pesantren hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agama yang dikaji ialah al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsir, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis dan musthalah hadis, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan arudh, tarikh, mantiq dan tasawuf. Kitab yang dikaji umumnya kitab-kitab yang ditulis pada abad pertengahan yang lazim disebut kitab kuning.
    Adapun metode yang lazim dipergunakan dalam pendidikan pesantren ialah  wetonansorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran[7]. Sedangkan metode sorogan ialah metode di mana santri menghadap kiai atau guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Metode hafalan ialah suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Biasanya dalam bentuk syair atau nadzam agar lebih mudah untuk dihafalkan.
2.       Jenjang Pendidikan
    Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seseorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus imtihan (Ujian) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah ke kitab lain. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
3.       Fungsi Pesantren
    Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga social dan penyiar agama. Sementara Azyumardi Azra menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam, dan ketiga, reproduksi ulama. Di samping itu pesantren juga menjadi sentral konsultasi masyarakat yang dating dengan berbagai keperluan seperti minta nasihat, minta doa, dll.
4.       Prinsip-Prinsip Pendidikan Pesantren
Setidak-tidaknya ada dua belas prinsip yang dipegang teguh pesantren:
1.      Theocentric,
2.      suka rela dalam pengabdian;
3.      kearifan;
4.      kesederhanaan;
5.      kolektivitas;
6.      kebebasan terpimpin;
7.      kemandirian;
8.      pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi;
9.      mengamalkan ajaran agama;
10.  belajar di pesantren bukan mencari ijazah;
11.  restu kiai, artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan dan doa dari kiai.
5.       Sarana dan tujuan pesantren
Dalam bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh ciri khas kesederhanaan. Sejak dulu lingkungan atau kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik kini sudah berubah total. Banyak pesantren tradisional yang memiliki gedung yang megah. Namun, kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan prilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan sehari-hari.
Mengenai tujuan pesantren, sampai kini belum ada suatu rumusan yang definitif. antara satu pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnya sama, yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada Allah. Hasil wawancara Mastuhu terhadap pengurus pesantren layak untuk dituliskan, tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, sebagai rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunah nabi), maupun berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘zzul Islami wal muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
6.       Kehidupan Kiai dan Santri
Kegiatan di pesantren berkisar pada pembagian waktu berdasarkan shalat lima waktu. Dengan sendirinya pengertian waktu pagi, siang, dan sore di pesantren menjadi berbeda dengan pengertian di luar.

Setidak-tidaknya ada delapan ciri pendidikan pesantren, sebagai berikut:
1.      Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya;
2.      Kepatuhan santri kepada kiai;
3.      Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren;
4.      Kemandirian amat terasa di pesantren;
5.      Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (ukhwah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren;
6.      Disiplin sangat dianjurkan di pesantren;
7.      Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu segi pendidikan yang diperoleh para santri;
8.      Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai transmisi pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri.






BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Salah satu ormas keagamaan yang kemudian menformulasikan ajaran ASWAJA sebagai dasar ajaran agamanya misalnya adalah Nahdhatul Ulama (NU). Kerangka pemahaman ASWAJA yang dikembangkan NU memiliki karakteristik yang khusus yang mungkin juga membedakan dengan kelompok muslim lainya yaitu bahwa ajaran ASWAJA yang dikembangkan berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang aqidah, Fiqh dan Tasawwuf.
Di bidang Aqidah, model yang diikuti oleh NU adalah pemikiran-pemikiran aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari  dan Abu Mansur al-Maturidi. Pada bidang Fiqh, mengikuti model pemikiran dan metode istinbat hukum yang dikembangkan empat imam madzhab (aimmat al- madzahib al-arba’ah) yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan dibidang Tasawwuf mengikuti model yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali dan Al-Juwaini al-Baghdadi.



DAFTAR PUSTAKA
Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama, Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 4
Artikel Pendidikan Network MENGENALPENDIDIKAN NAHDHATUL ULAMA.htm. akses November 2014


[1] .Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 4
[2] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,Yogyakarta: Pustaka  SM, 2009, h. 145
[3] Deliar Noer, h, 241
[4] Muhammadiyah, Syarikat Islam dan al-Irsyad
[5] A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama, Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia,Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010, h. 22
[6] Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (2001: 100-120)
[7] Pendidikan Pesantren Nahdlatul Ulama, Salafiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar