Rabu, 20 Mei 2015

Nahdlatul Ulama dan Sistem Pesantren Ala NU



A.    Latar belakang berdirinya NU
            Menurut sejarah, Organisasi Islam Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, Nahdlatul Ulama berasal dari dua kata dalam bahasa arab yaitu Nahdlatul (kebangkitan) dan Ulama (ulama, kyai, tokoh faham agama). Jadi, Nahdlatul Ulama mempunyai arti yaitu  kebangkitan para ulama. Konsep pendidikan yang khas yang melekat pada organisasi ini dijadikan sebagai sistem pendidikan ala NU, Deliar Noer menyebutnya dengan kalangan tradisi. Sehingga NU terkenal dengan system pondok pesantren tradisinya (salafi). Seperti pondok pesantren Tebu Ireng yang didirikan olem Hasyim Asy’ari, pondok pesantren Alhikamussalafiyah Cipulus yang didirikan oleh Mama Izudin, pondok pesantren Tambak Beras oleh Abdul Wahab HAsbullah, dan pesantren yang tidak jauh dari Tambak Beras oleh KH Bisri. Para pendiri pesantren ini  adalah tokoh dari NU dan pesantren ini sangat identik dengan pesantren NU. Dalam karya tulis ini kemudian saya akan membahas system dan karakteristik lembaga pondok pesantren.
            Sejarah menulis bahwa pondok pesantren di Indonesia telah ada jauh sebelum NU berdiri sebagai organisasi, bahkan lembaga pendidikan tertua di Indonesia adalah pondok pesantren sehingga sebagian sejarawan menilai sistem pondok pesantren asli (geniun) berasal dari peradaban Indonesia. NU kemudian mengukuhkan identitas dirinya di jalur pendidikan melalui pondok pesantren. Meskipun semua pondok pesantren yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU tidak berafiliasi langsung ke Organisasi induknya (NU). Pondok menjadi milik Kiainya (yang berafiliasi NU), sebagai pendiri sekaligus pemimpinnya.
            Berbicara soal pendidikan tentunya tidak akan pernah lepas dengan ideologi yang melatar belakangi sebuah pendidikan. William F. O’Neil dalam bukunya Ideologi-Ideologi Pendidikan, memaparkan dengan jelas berbagai bentuk ideologi-idelogi pendidikan dunia. Berdasarkan pemetaannya ada dua aliran ideologi besar yang cukup berpengaruh, dengan varian masing-masing, yaitu pertama, ideologi konservatif dengan variasi: fundamentalisme, intelektualisme, dan konservatisme; kedua, ideologi liberalis dengan variasi: liberalism, liberasionisme, dan anarkisme[1].  Nahdlatul Ulama  dengan ideologi Aswaja (ahlusunna wal jama’ah) yang sangat kental dan masih dilestarikan sampai sekarang mempertahankan tradisi tentunya akan sangat jelas masuk pada kategori berideologi konservatif, meskipun NU tidak pernah mungkin menetapkan seperti itu. Ideologi secara etimologi dibentuk dari kata idea, berarti pemikiran, konsep, atau gagasan, dan logos artinya pengetahuan. Dengan demikian ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, tentang keyakinan atau gagasan. Menurut Sastra Pratedja membatasinya secara singkat sekali, bahwa yang disebut ideologi adalah “seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisasi menjadi suatu sistem yang teratur[2].
Kita tahu bahwa Benteng perlawanan terhadap golongan pembaharu yang didirikan kalangan tradisi di pulau Jawa berbentuk Nahdlatul Ulama. Kehadiran dan kelahiran NU sebagai organisasi para ulama di tengah-tengah masyarakat yang plural dan majemuk seperti Indonesia bukan suatu kebetulan[3]. Terdapat pilihan-pilihan logis dan sadar atas terbentuknya NU oleh para ulama tradisional waktu itu. Jika diteliti secara seksama, sejak kelahirannya, NU telah dihadapkan pada pertarungan ideologi yang ada sebelumnya. Tidak hanya ideologi keagamaan yang ada di tanah air, tetapi, dan ini yang lebih penting adalah ideologi yang “diimpor” dari Mesir dan Saudi Arabia. Berbeda dengan ormas keagamaan lainnya, kehadiran NU merupakan bagian dari desakan local untuk merawat tradisi yang saat itu terancam oleh kalangan reformis atau modernis[4]. Ini adalah faktor dari dalam atau internal di tanah air. Tetapi, dari sisi eksternal, kehadiran NU, langsung atau tidak langsung sebagai bentuk resistensi terhadap faham wahabisme di satu sisi dan menguatnya kelompok pembeharuan di Mesir yang dikomandoi oleh Jamaluddin al-Afghani dan Rasyid Ridho. Meskipun itu bukanlah satu-satunya sebab yang merespon berdirinya NU[5].
            Sedikit menyinggung sejarah pendidikan NU, Pada Muktamar NU ke-3 (1928), elite NU memprakarsai gerakan peduli pendidikan dengan mengajak para Muktamirin untuk mengunjungi pesantren-pesantren besar seperti Tambak Beras yang dipimpin KH. Wahab Chasbullah, Denanyar yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri, dan Nganjuk yang dipimpin oleh K. Pathudin Seror Putih. Pada Muktamar NU ke-4 (1929), panitia Muktamar merespon kecenderungan naiknya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendorong para Muktamirin sepakat untuk membentuk wadah khusus yang menangani bidang pendidikan yang bernama Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang diketuai oleh Ustadz Abdullah Ubaid, waktu itu disebut presiden. Pada perkembangan selanjutnya, terbentuklah Lembaga Pendidikan Maârif NU (LPMNU) pada Muktamar NU ke-20 (1959) di Jakarta.
            Dari arena Muktamar ke Muktamar, hingga Muktamar NU ke-30 (1999) di Kediri, Lirboyo, Jawa Timur, NU tetap menjadikan sektor pendidikan sebagai mainstream (pemikiran utama). Munas dan Konbes NU tanggal 25-28 Juli 2002 di Pondok Gede Jakarta menghasilkan Taushiyah Pondok Gede Tahun 2002yang mencoba mempertegas kembali posisi bidang pendidikan untuk menjadi prioritas program NU. Untuk menafsirkan lebih rinci, tak lama setelah itu, tepatnya tanggal 22-25 Agustus 2002 di Kawasan Puncak Batu Malang Jawa Timur, diselenggarakan Rapat Kerja LPMNU dan Musyawarah Kerja Perguruan Tinggi NU. Di forum tersebut, NU kembali mematangkan format, strategi dan guidlines (garis panduan) pengembangan pendidikan di lingkungan NU.
            Tidak bisa dikatakan bahwa sistem pendidikan pesantren adalah identik dengan NU, namun Keberadaan pendidikan di wilayah NU berawal dari keberadaan pesantren5). para kiai pesantren, dahulu kala, ketika pulang dari Timur Tengah ke Indonesia, sebagian besar mendirikan pesantren sebagai institusi pendidikan. Oleh karena pendidikan pesantren, maka keilmuan yang diutamakan adalah keagamaan, khususnya fiqih-hukum-yurisprudensi; dan karena kitab fiqih itu kebanyakan berbahasa Arab, maka untuk memahaminya diperlukan ilmu alat berupa nahwuâ sharaf, jadi pesantren mesti memiliki perangkat keilmuan nahwu-sharaf.  
            Jadi keberadaan pendidikan di lingkungan NU sebelum madrasah adalah pesantren. Saat ini pendidikan pesantren berada dalam naungan NU, yang penanganannya dipasrahkan pada Lajnah RMI (Lembaga Rabithah Maâhid Islamiyah), sedangkan pendidikan madrasah berada dalam naungan NU, yang penanganannya diserahkan kepada Lembaga Pendidikan Maârif (LPM). Sekolah NU-Maârif didirikan untuk syiâr Islam. Oleh karena untuka syiâr, maka yang penting ramai, dalam artian yang penting sekolahnya berjumlah banyak. Persoalan kualitas nanti dulu dan pada awalnya- tidak begitu dipedulikan. Akan tetapi pada perkembangan berikutnya, sekolah NU-Maârif mengikuti kebutuhan sebagaimana keberadaan sekolah pada umumnya. Sekolah pada umumnya mengembangkan potensi pokok yang harus dimiliki oleh sekolah yang bersangkutan.
Pendidikan NU mempunyai dua ciri yang esensial;
1.      Al-I’timad alannafsi (berdikari).
2.       Fil Ijtimaâiyah (memasyarakat), artinya dihidupi oleh masyarakat.
           Madrasah atau pesantren itu didirikan oleh masyarakat dan dibiayai sendiri oleh masyarakat. Ketika masyarakat mau belajar atau mau menyekolahkan anaknya di pesantren atau madrasah, mereka hanya ditunjukkan tempatnya oleh kiai, kemudian mereka membangun kamar sendiri. Hal itu sekarang bergeser, pesantren atau madrasah tidak berdikari, mereka juga mencari sumbangan ke pemerintah. Wali santri sekarang tidak otomatis menyumbang kecuali ada tarikan dari pihak sekolah. Jadi tidak ada kesukarelaan seperti dulu, kalau wali santri menitipkan anaknya ke pesantren maka bangunan pesantren menjadi tanggung jawab wali santri.
 
B.     Sistem Pesantren 
            Dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (2001: 100-120), yang berisi kumpulan tulisan dari berbagai sumber. Salah satu judul yang menarik adalah tulisan Hasan Basri dengan judul Pesantren: Karakteristik dan Unsur-Unsur Kelembagaan[6]tulisan ini mencoba untuk memotret sekilas gambaran sistem pesantren dan karakteristiknya. Berangkat dari  definisi teoritis, pesantren menurut Mastuhu, adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari.
            Definisi lain yang diberikan oleh Sudjoko Prasodjo, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seseorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada sntri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren sekurang-kurangnya ada unsur-unsur: kiai, mesjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, dan pondok atau asrama tempat tinggal para santri.


C.    Karakteristik Pendidikan Pesantren Ala NU
1.       Materi Pelajaran dan Metode Pelajaran
    Sebagai lembaga pendidikan Islam, pada dasarnya pesantren hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agama yang dikaji ialah al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsir, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis dan musthalah hadis, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan arudh, tarikh, mantiq dan tasawuf. Kitab yang dikaji umumnya kitab-kitab yang ditulis pada abad pertengahan yang lazim disebut kitab kuning.
    Adapun metode yang lazim dipergunakan dalam pendidikan pesantren ialah  wetonansorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran[7]. Sedangkan metode sorogan ialah metode di mana santri menghadap kiai atau guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Metode hafalan ialah suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Biasanya dalam bentuk syair atau nadzam agar lebih mudah untuk dihafalkan.
2.       Jenjang Pendidikan
    Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seseorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus imtihan (Ujian) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah ke kitab lain. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
3.       Fungsi Pesantren
    Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga social dan penyiar agama. Sementara Azyumardi Azra menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam, dan ketiga, reproduksi ulama. Di samping itu pesantren juga menjadi sentral konsultasi masyarakat yang dating dengan berbagai keperluan seperti minta nasihat, minta doa, dll.
4.       Prinsip-Prinsip Pendidikan Pesantren
Setidak-tidaknya ada dua belas prinsip yang dipegang teguh pesantren:
1.      Theocentric,
2.      suka rela dalam pengabdian;
3.      kearifan;
4.      kesederhanaan;
5.      kolektivitas;
6.      kebebasan terpimpin;
7.      kemandirian;
8.      pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi;
9.      mengamalkan ajaran agama;
10.  belajar di pesantren bukan mencari ijazah;
11.  restu kiai, artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan dan doa dari kiai.
5.       Sarana dan tujuan pesantren
Dalam bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh ciri khas kesederhanaan. Sejak dulu lingkungan atau kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik kini sudah berubah total. Banyak pesantren tradisional yang memiliki gedung yang megah. Namun, kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan prilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan sehari-hari.
Mengenai tujuan pesantren, sampai kini belum ada suatu rumusan yang definitif. antara satu pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnya sama, yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada Allah. Hasil wawancara Mastuhu terhadap pengurus pesantren layak untuk dituliskan, tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, sebagai rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunah nabi), maupun berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘zzul Islami wal muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
6.       Kehidupan Kiai dan Santri
Kegiatan di pesantren berkisar pada pembagian waktu berdasarkan shalat lima waktu. Dengan sendirinya pengertian waktu pagi, siang, dan sore di pesantren menjadi berbeda dengan pengertian di luar.

Setidak-tidaknya ada delapan ciri pendidikan pesantren, sebagai berikut:
1.      Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya;
2.      Kepatuhan santri kepada kiai;
3.      Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren;
4.      Kemandirian amat terasa di pesantren;
5.      Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (ukhwah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren;
6.      Disiplin sangat dianjurkan di pesantren;
7.      Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu segi pendidikan yang diperoleh para santri;
8.      Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai transmisi pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri.






BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Salah satu ormas keagamaan yang kemudian menformulasikan ajaran ASWAJA sebagai dasar ajaran agamanya misalnya adalah Nahdhatul Ulama (NU). Kerangka pemahaman ASWAJA yang dikembangkan NU memiliki karakteristik yang khusus yang mungkin juga membedakan dengan kelompok muslim lainya yaitu bahwa ajaran ASWAJA yang dikembangkan berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang aqidah, Fiqh dan Tasawwuf.
Di bidang Aqidah, model yang diikuti oleh NU adalah pemikiran-pemikiran aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari  dan Abu Mansur al-Maturidi. Pada bidang Fiqh, mengikuti model pemikiran dan metode istinbat hukum yang dikembangkan empat imam madzhab (aimmat al- madzahib al-arba’ah) yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan dibidang Tasawwuf mengikuti model yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali dan Al-Juwaini al-Baghdadi.



DAFTAR PUSTAKA
Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama, Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 4
Artikel Pendidikan Network MENGENALPENDIDIKAN NAHDHATUL ULAMA.htm. akses November 2014


[1] .Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 4
[2] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,Yogyakarta: Pustaka  SM, 2009, h. 145
[3] Deliar Noer, h, 241
[4] Muhammadiyah, Syarikat Islam dan al-Irsyad
[5] A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama, Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia,Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010, h. 22
[6] Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (2001: 100-120)
[7] Pendidikan Pesantren Nahdlatul Ulama, Salafiyah.

SEJARAH DEMOKRASI DAN PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu Negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara)  atas  Negara untuk dijalankan oleh pemerintah Negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik Negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) untuk mewujudkan dalam tiga jenis lembaga Negara yang saling lepas (independen) berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
            Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi demokrasi, untuk di Asia Tenggara Indonesia adalah negara yang paling terbaik  menjalankan demokrasinya, ini patut kita apresiasi dan junjung tinggi demokrasi dari masa kemasa dan mungkin kita bisa merasa bangga dengan keadaan itu.
Didalam praktek kehidupan  kenegaraan sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa  model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan lainnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pengertian dan sejarah demokrasi di Dunia ?
2.      Bagaimanakah pelaksanaan demokrasi di Indonesia dari masa ke masa?
3.      Bagaimana pelaksanaan demokrasi yang ideal?
4.      Bagaimana pandangan Islam terhadap demokrasi?





C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian dan sejarah dari demokrasi.
2.      Paham akan pelaksanaan demokrasi di Indonesia dari masa ke masa.
3.      Mengetahui pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini.
4.      Mengetahui gambaran pelaksanaan demokrasi yang ideal.
5.      Memberikan penjelasan mengenai pandangan Islam terhadap demokrasi.



























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian  Demokrasi
             Demokrasi menurut pendapat Joseph A. Schmeter, Demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
            Menurut pandangan Sidney Hook, Pengertian Demokrasi ialah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
            Philippe C. Schmitter mengemukakan pengertian demokrasi, Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah diminta tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negaranya, yang bertindak baik secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.
            Pengertian Demokrasi menurut Henry B. Mayo, Demokrasi sebagai sistem politik yaitu suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
            Dari pengertian demokrasi yang disampaikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Hakikat Demokrasi adalah peran utama rakyat dalam proses sosial politik. Dengan kata lain, pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan di tangan rakyat yang mengandung pengertian tiga hal :
1)      Pemerintahan itu dari rakyat,
2)       Pemerintahan itu oleh rakyat dan
3)      Pemerintahan itu untuk rakyat.
Dari ketiga faktor pemerintahan yang demokrasi ini merupakan tolak ukur umum dari suatu pemerintahan yang demokratis.
1.      Pengertian Pemerintahan dari rakyat adalah suatu pemerintahan yang sah dimana mendapat pengakuan dan dukungan dari mayoritas rakyat melalui mekanisme demokrasi (pemilihan umum). Pengakuan dan dukungan rakyatnya sangatlah penting bagi suatu pemerintahan, karena dengan legitimasi politik tersebut pemerintah dapat menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya.
2.      Pengertian Pemerintahan untuk rakyat ialah suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan disebabkan oleh dorongan pribadi elite negara (elite birokrasi). Selain pengertian ini, unsur kedua ini juga mengandung pengertian bahwa dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah selaku pemegang kekuasaan berada dalam pengawasan rakyat. Pengawasan ini dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun tidak langsung melalui para wakilnya di parlemen. Dengan adanya pengawasan oleh para wakil rakyat di parlemen, maka ambisi otoritarianisme dari para penyelenggara negara dapat dihindari.
3.      Pengertian Pemerintahan untuk rakyat yaitu bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyatnya. Hal ini dimaksudkan agar kepentingan rakyat umum harus dijadikan landasan utama kebijakan sebuah pemerintahan yang demokratis.

Demi terciptanya proses demokrasi setelah terbentuknya sebuah pemerintahan demokratis lewat mekanisme pemilu demokratis, maka negara memiliki kewajiban untuk membuka saluran-saluran demokrasi. Selain saluran demokrasi formal lewat partai politik dan DPR, untuk mendapat masukan dan kritik dari warga negara dalam rangka terjadinya kontrol terhadap jalannya pemerintahan, pemerintah yang demokratis memiliki kewajiban menyediakan dan menjaga saluran-saluran demokrasi nonformal yang bisa berupa penyediaan fasiltas-fasilitas umum atau ruang publik sebagai sarana interaksi sosial, contohnya stasiun radio dan televisi, taman dan lain sebagainya.





B.     Sejarah Demokrasi
            Berbicara mengenai sejarah demokrasi di Dunia dan di Indonesia, konsep demokrasi lahir dari tradisi Yunani tentang hubugan negara dan hukum yang dipraktikkan antara abad ke 6 SM sampai abad ke 4 M. Pada masa itu demokrasi yang dipraktikkan berbentuk demokrasi langsung, yaitu dimana hak rakyat dalam membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas.
Demokrasi langsung tersebut berjalan secara efektif karena negara kota Yunani Kuno merupakan sebuah kawasan politik yang tergolong kecil, yaitu sebuah wilayah dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 300.000 penduduk. Yang unik dari demokrasi Yunani itu adalah ternyata hanya kalangan tertentu (warga negra resmi) yang dapat menikmati dan menjalankan sistem demokrasi awal tersebut. Sementara masyarakatnya berstatus budak, pedagang asing, anak-anak dan perempuan tidak bisa menikmati demokrasi.
            Dalam sejarah demokrasi, demokrasi Yunani Kuno berakhir pada abad pertengahan. Pada masa itu masyarakat Yunani berubah menjadi masyarakat feodal yang ditandai oleh kehidupan keagamaan terpusat pada Paus dan pejabat agama dengan kehidupan politik yang diwarnai dengan perbutan kekuasaan di kalangan para bangsawan.
            Sejarah demokrasi selanjutnya tumbuh kembali di Eripa menjelang akhir abad pertengahan, ditandai oleh lahirnya Magna Charta (piagam besar) di negara Inggris. Magna Charta adalah suatu piagam yang dimana memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John Inggris. Dalam piagam Magna Charta menegaskan bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus bawahannya. Dalam hal ini terdapat dua hal yang sangat mendasar pada piagam ini, adanya pembatasan kekuasaan raja dan HAM (Hak Asasi Manusia) lebih penting daripada kedaulatan rakyat.
            Dalam sejarah demokrasi, momentum lainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di Eropa yaitu gerakan pencerahan dan reformasi. Gerakan pencerahan adalah gerakan yang menghidupkan kembali minat pada budaya dan sastra Yunani Kuno. Gerakan reformasi yaitu penyebab lain kembalinya tradisi demokrasi di Barat, setelah pernah tenggelam pada abad pertengahan tersebut. Gerakan reformasi adalah gerakan revolusi agama di Eropa pada abad ke 16. Tujuan dari gerakan ini yaitu gerakan kritis terhadap kebekuan doktrin gereja.
            Lahirnya istilah kontrak sosial antara yang berkuasa dan yang dikuasai tidak lepas dari dua filsuf Eropa, John Locke dari Inggris dan Monstesquieu dari Perancis. Pemikiran keduanya telah berpengaruh pada ide dang gagasan pemerintah demokrasi. Menurut Locke, hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan juga hak kepemilikan, sedangkan menurut Montesquieu sistem politik tersebut adalah melalui prinsip trias politica. Trias Politica adalah suatu sistem dimana pemisahan kekuasaan dalam negara menjadi tiga bentuk kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.

Gagasan demokrasi dari kedua filsuf Eropa itu pada akhirnya berpengaruh pada kelahiran konsep konstitusi demokrasi Barat. Konstitusi demokrasi yang bersandar pad trias politica ini selanjutnya berakibat pada munculnya konsep negara kesejahteraan. Konsep negara kesejahteraan tersebut pada intinya merupakan suatu konsep pemerintahan yang memprioritaskan kinerja pada peningkatan kesejahteraan warga negara.

            Sejarah demokrasi di Indonesia, Sejak Indonesia merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara pada tanggal 17 Agustus 1945, para Pendiri Negara Indonesia (the Founding Fathers) melalui UUD 1945 (yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) telah menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham atau ajaran demokrasi, dimana kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian berarti juga NKRI tergolong sebagai negara yang menganut paham Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy).
Penetapan paham demokrasi sebagai tataan pengaturan hubungan antara rakyat disatu pihak dengan negara dilain pihak oleh Para Pendiri Negara Indonesia yang duduk di BPUPKI tersebut, kiranya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa sebagian terbesarnya pernah mengecap pendidikan Barat, baik mengikutinya secara langsung di negara-negara Eropa Barat (khususnya Belanda), maupun mengikutinya melalui pendidikan lanjutan atas dan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia sejak beberapa dasawarsa sebelumnya, sehingga telah cukup akrab dengan ajaran demokrasi yang berkembang di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Tambahan lagi suasana pada saat itu (Agustus 1945) negara-negara penganut ajaran demokrasi telah keluar sebagai pemenang Perang Dunia-II.
Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan lainnya.

C.    Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
            Pengertian dan pelaksanaan demokrasi disetiap negara berbeda, hal ini ditentukan oleh sejarah, budaya dan pandangan hidup, dan dasar negara serta tujuan negara tersebut. Sesuai dengan pandangan hidup dan dasar negara, pelaksanaan demokrasi di Indonesia mengacu pada landasan idiil dan landasan konstitusional UUD 1945. Dasar demokrasi Indonesia adalah kedaulatan rakyat seperti yang tercantum dalam pokok pikiran ketiga pembukaan UUD 1945: “Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar kerakyatan, permusyawaratan/perwakilan”. Pelaksanaannya didasarkan pada UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.
            Negara Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang berusaha untuk membangun sistem politik demokrasi sejak menyatakan kemerdekaan dan kedaulatannya pada Tahun 1945. Namun, banyak kalangan berpendapat bahwa sesungguhnya Negara Indonesia hingga sekarang ini masih dalam tahap “ demokratisasi” artinya, demokrasi  yang kini di bangun belum benar-benar berdiri dengan mantap.
            Sejak awal kemerdekaan Negara Indonesia berbagai hal berkenaan dengan hubungan Negara dan masyarakat telah diatur di dalam UUD 1945 para founding father (pendiri Negara) berkeinginan kuat sistem politik Indonesia mampu mewujudkan pemerintahan yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan ikut serta dalam perdamaian dunia.
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia dalam perjalanannya mengalami pasang surut. Hal itu di tandai dengan perubahan bentuk demokrasi yang pernah di laksanakan di Indonesia.
            Miriam Boedihardjo menyatakan bahwa dipandang dari sudut perkembangan sejarah demokrasi Indonesia sampai dengan masa Orde Baru dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu:
1.      Masa Republik I yang dinamakan masa demokrasi parlementer;
2.      Masa Republik II, yaitu masa demokrasi terpimpin;
3.       Masa Republik III, yaitu masa demokrasi Pancasila yang menonjolkan sistem presidensial.
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia dapat dibagi kedalam lima periode.
1.      Pelaksanaan demokrasi masa revolusi (1945-1950)
2.      Pelaksanaan demokrasi masa Orde Lama
a.       Masa demokrasi liberal (1950-1959)
b.      Masa demokrasi terpimpin (1959-1965)
3.      Pelaksanaan demokrasi masa Orde Baru (1966-1998)
4.      Pelaksanaan demokrasi masa transisi (1998-1999)
5.      Pelaksanaan demokrasi masa Reformasi (1999-sekarang).

1)      Pelaksanaan Demokrasi Masa Revolusi (1945-1950)
      Tahun 1945 – 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin kembali ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan oleh masih adanya revolusi fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden denan dibantu oleh KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah negara yang absolut pemerintah mengeluarkan:
·         Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi lembaga legislatif.
·         Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang Pembentukan Partai Politik.
·         Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem pemerintahn presidensil menjadi parlementer

2)      Pelaksanaan Demokrasi Masa Orde Lama (1950-1965)
a.       Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)
      Pelaksanaan demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu, yakni Undang Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah dirintis sejak dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 dan maklumat tanggal 3 November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi liberal atau parlementer yang meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai diterapkan di Indonesia. Tahun 1950 sampai 1959 merupakan masa berkiprahnya parta-partai politik. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI & Masyumi) silih berganti memimpin kabinet. Sering bergantinya kabinet sering menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Ciri-ciri demokrasi liberal adalah sebagai berikut :
1.      Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat
2.      Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah
3.      Presiden bisa dan berhak berhak membubarkan DPR
4.      Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
Adapun kabinet-kabinet pada masa demokrasi liberal, yaitu:
1.      KABINET NATSIR (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi.
Dipimpin Oleh : Muhammad Natsir.
2.      KABINET SUKIMAN (27 April 1951 – 3 April 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
Dipimpin Oleh: Sukiman Wiryosanjoyo
3.      KABINET WILOPO (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam biangnya.
Dipimpin Oleh : Mr. Wilopo
4.      KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU.
Dipimpin Oleh : Mr. Ali Sastroamijoyo
5.      KABINET BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Dipimpin Oleh     : Burhanuddin Harahap
6.      KABINET ALI SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Dipimpin Oleh : Ali Sastroamijoyo
7.      KABINET DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik.
Dipimpin Oleh : Ir. Juanda

Namun demikian praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal disebabkan :
·         Dominannya partai politik
·         Landasan sosial ekonomi yang masih lemah
·         Tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950
·         Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
·         Bubarkan konstituante
·         Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950
·         Pembentukan MPRS dan DPAS


b.      Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
            Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi dimana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956. Masa demokrasi terpimpin (1957-1965) dimulai dengan tumbangnya demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang ditandai pengunduran Ali Sastroamidjojo sebagai perdana mentri. Namun begitu, penegasan pemberlakuan demokrasi terpimpin dimulai setelah dibubarkannya badan konstituante dan dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959.
            Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan nasakom dengan ciri:
1.      Dominasi Presiden
2.      Terbatasnya peran partai politik
3.      Berkembangnya pengaruh PKI.
            Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca Pemilihan Umum 1955 membuat situasi politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga negara Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. Berikut latar belakang munculnya penerapan demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno.

Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain:
1.      Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak yang dipenjarakan
2.      Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden membentuk DPRGR
3.      Jaminan HAM lemah
4.      Terjadi sentralisasi kekuasaan
5.      Terbatasnya peranan pers
6.      Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur.
            Akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September 1965 oleh PKI yang menjadi tanda akhir dari pemerintahan Orde Lama.

3)      Pelaksanaan Demokrasi Masa Orde Baru (1966-1998)
        Dinamakan juga demokrasi pancasila. Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Orde Baru bertekad akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab:
1.      Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada
2.      Rekrutmen politik yang tertutup
3.      Pemilu yang jauh dari semangat demokratis
4.      Pengakuan HAM yang terbatas
5.      Tumbuhnya KKN yang merajalela
Sebab jatuhnya Orde Baru:
1.      Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi )
2.      Terjadinya krisis politik
3.      TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba
4.      Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut Presiden Soeharto untuk turun jadi Presiden.

      Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.

4)      Pelaksanaan Demokrasi Masa Transisi (1998-1999)
        Masa transisi berlangsung  tahun 1998-1999. Pada masa ini terjadi penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto yang mengundurkan diri kepada Wakil Presiden B. J. Habibie pada tanggal 21 Mei  1998, jadi Presiden RI pada waktu itu digantikan oleh B. J. Ha Habibie. Hal ini disebut masa transisi, yaitu perpindahan pemerintahan.
Demokrasi terpimpin, juga disebut demokrasi terkelola adalah istilah untuk sebuah pemerintahan demokrasi dengan peningkatan otokrasi. Pemerintahan negara dilegitimasi oleh pemilihan umum yang walaupun bebas dan adil, digunakan oleh pemerintah untuk melanjutkan kebijakan dan tujuan yang sama. Atau, dengan kata lain, pemerintah telah belajar untuk mengendalikan pemilihan umum sehingga pemilih dapat melaksanakan semua hak-hak mereka tanpa benar-benar mengubah kebijakan publik. Walaupun mengikuti prinsip-prinsip dasar demokrasi, dapat timbul penyimpangan kecil terhadap otoritarianisme. Dalam demokrasi terpimpin, pemilih dicegah untuk memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakan yang dijalankan oleh negara melalui pengefektifan teknik kinerja humas yang berkelanjutan.

5)      Pelaksanaan Demokrasi Masa Reformasi (1999-Sekarang)
        Demokrasi yang dikembangkan pada masa reformasi pada dasarnya adalah demokrasi dengan mendasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, dengan penyempurnaan pelaksanaannya dan perbaikan peraturan-peraturan yang tidak demokratis, dengan meningkatkan peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Demokrasi Indonesia saat ini telah dimulai dengan terbentuknya DPR – MPR hasil Pemilu 1999 yang telah memilih presiden dan wakil presiden serta terbentuknya lembaga-lembaga tinggi yang lain.


Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:
1.      Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi
2.      Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang Referandum
3.      Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN
4.      Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI
5.      Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV

Pada Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemilihan umum dan sudah dua kali melaksanakan pemilihan umum secara demokrasi yaitu pada tahun 1999 dan tahun 2004.

D.    Pelaksanaan Demokrasi Yang Ideal
Menurut Dahl, berkaitan dengan problem pluralisme demokrasi,proses demokrasi yang ideal hendaknya memenuhi 5 kriteria:
1)      Persamaan hak pilih : Dalam mebuat keputusan kolektif yang mengikat, hak istimewa dari setiap warga Negara seharusnya diperhatikan secara berimbang dalam menentukan keputusan terakhir.
2)      Partisipasi efektif : Dalam seluurh proses pembuatan keputusan secara kolektif, termasuk tahap penentuan agenda kerja, setiap warga Negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka mewujudkan kesimpulan terakhir.
3)      Pembenaran kebenaran : Dalam waktu yang dimungkinkan, karena keperluan untuk suatu keputusan, setiap warga Negara harus mempunyai peluang yang sama dan memadai untuk melakukan penilaian logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.
4)      Kontrol Terakhir terhadap agenda : Masyarakat harus mempunyai kekuasaan eksklusif untuk menentukan soal-soal mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses-proses yang memenuhi ketiga criteria yang disebut pertama. Dengan cara lain, tidak memisahkan masyarakat dari hak kontrolnya terhadap agenda dan dapat mendelegasikan wewenang kekuasaan kepada orang-orang lain yang mungkin dapat membuat keputusan-keputusan lewat proses non demokrasi.
5)      Pencakupan : Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum, kecuali pendatang sementara.

E.      Pandangan Islam Terhadap Demokrasi
            Perdebatan tentang hubungan antara Islam dan demokrasi sebagaimana diakui oleh Mun’im A. Sirry  memang masih menjadi perdebatan yang belum terselesaikan. Berdasarkan pemetaan yang dikembangkan oleh Jhon L. Esposito dan James P. Piscatory  secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok pemikiran.
Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam dipandang sebagai sistem politik alternatif terhadap demokrasi. Demokrasi sebagai sistem barat tidak tepat untuk dijadikan acuan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara Islam sebagai agama kaffah yang tidak hanya mengatur aspek teologi (aqidah) dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia. Ini diungkapkan oleh elit kerajaan Arab Saudi dan elit politik Iran pada masa awal revolusi Iran, Syekh FadhAllah Nuri, Sayyid Qutb, Thabathabi, Al-Sya’rawi dan Ali Benhadj.
Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa Islam dan Demokrasi merupakan konsep yang sejalan setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Diantara tokoh dari kelompok ini adalah al-Maududi, Abdul Fattah Morou, dan Taufiq Asy-Syawi.
Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem demokrasi . Pandangan ini yang paling dominan yang ada di Indonesia, karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan Negara-negara Islam lainnya. Diantara tokoh-tokohnya yaitu,  Fahmi Huwaidi, al-Aqqad, M Husain Haekal, Robert N. Bellah. Di Indonesia diwakili oleh Nurcholis Majid , Amien Rais, Munawir Syadzali, A. Syafi’i Ma’arif dan Abdurrahman Zahid.
Penerimaan Negara-negara Islam terahadap demokrasi bukan bararti demokrasi dapat berkembang dengan cepat secara otomatis.
           
            Ada beberapa alasan teoritis yang dapat menjelaskan tentang lambatnya pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia Islam.
a.       Pemahaman doktrinal menghambat praktek demokrasi. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan kaum muslim yang cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam.
b.      Persoalan kultur. Sebenarnya demokrasi telah dicoba di Negara-negara Islan sejak paruh pertama abad dua puluh tetapi gagal. Tampaknya ia akan sukses pada masa-masa mendatang, karena warisan kultural masyarakat muslim sudah terbiasa dengan otokrasi dan ketaatan pasif. Persoalan kultur ditengarai sebagai yang paling bertanggung jawab mengapa sulit membangun demokrasi di Negara Islam. Sebab, secara doktrinal, pada dasarnya hamper tidak dijumpai hambatan teologis dikalangan tokoh-tokoh partai, ormas, atau gerakan Islam. Bahkan ada kecenderungan untuk merambah tugas baru yaitu merekonsiliasi perbedaan antara teori politik modern dengan doktrin Islam.
c.       Lambannya pertumbuuhan demokrasi di dunia Islam tak ada hubungannya dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi dibutuhkan kesungguhan, kesabaran, dan diatas segalanya adalah waktu. Jhon Esposito dan O. Voll adalah tokoh yang tetap optimis terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam. Terlepas dari itu semua, tak dapat diragukan lagi, pengalaman empirik demokrasi dalam sejarah Islam memang terbatas.








BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
         Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Istilah demokrasi ini memberikan posisi penting bagi rakyat sebab dengan demokrasi, hak-hak rakyat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi Negara dijamin.
         Penerapan demokrasi di berbagai Negara di dunia memiliki ciri khas dan spesifikasi masing-masing, lazimnya sangat dipengaruhi oleh ciri khas masyarakat sebagai rakyat dalam suatu negara. Indonesia sendiri menganut demokrasi pancasila dimana demokrasi itu dijiwai dan diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur Pancasila sehingga tidak dapat diselewengkan begitu saja.
         Implementasi demokrasi pancasila terlihat pada pesta demokrasi yang diselenggarakan tiap lima tahun sekali. Dengan diadakannya Pemilihan Umum baik legislatif maupun presiden dan wakil presiden terutama di era reformasi ini, aspirasi rakyat dan hak-hak politik rakyat dapat disalurkan secara langsung dan benar serta kedaulatan rakyat yang selama ini hanya ada dalam angan-angan akhirnya dapat terwujud.