A.
Latar belakang berdirinya NU
Menurut
sejarah, Organisasi Islam Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926 di
Surabaya, Nahdlatul Ulama berasal dari dua kata dalam bahasa arab yaitu
Nahdlatul (kebangkitan) dan Ulama (ulama, kyai, tokoh faham agama). Jadi,
Nahdlatul Ulama mempunyai arti yaitu
kebangkitan para ulama. Konsep pendidikan yang khas yang melekat pada
organisasi ini dijadikan sebagai sistem pendidikan ala NU, Deliar Noer
menyebutnya dengan kalangan tradisi. Sehingga NU terkenal dengan system pondok
pesantren tradisinya (salafi). Seperti pondok pesantren Tebu Ireng yang
didirikan olem Hasyim Asy’ari, pondok pesantren Alhikamussalafiyah Cipulus yang
didirikan oleh Mama Izudin, pondok pesantren Tambak Beras oleh Abdul Wahab
HAsbullah, dan pesantren yang tidak jauh dari Tambak Beras oleh KH Bisri. Para
pendiri pesantren ini adalah tokoh dari
NU dan pesantren ini sangat identik dengan pesantren NU. Dalam karya tulis ini
kemudian saya akan membahas system dan karakteristik lembaga pondok pesantren.
Sejarah menulis bahwa pondok
pesantren di Indonesia telah ada jauh sebelum NU berdiri sebagai organisasi,
bahkan lembaga pendidikan tertua di Indonesia adalah pondok pesantren sehingga
sebagian sejarawan menilai sistem pondok pesantren asli (geniun) berasal dari
peradaban Indonesia. NU kemudian mengukuhkan identitas dirinya di jalur
pendidikan melalui pondok pesantren. Meskipun semua pondok pesantren yang
didirikan oleh tokoh-tokoh NU tidak berafiliasi langsung ke Organisasi induknya
(NU). Pondok menjadi milik Kiainya (yang berafiliasi NU), sebagai pendiri
sekaligus pemimpinnya.
Berbicara
soal pendidikan tentunya tidak akan pernah lepas dengan ideologi yang melatar
belakangi sebuah pendidikan. William F. O’Neil dalam bukunya Ideologi-Ideologi
Pendidikan, memaparkan dengan jelas berbagai bentuk ideologi-idelogi
pendidikan dunia. Berdasarkan pemetaannya ada dua aliran ideologi besar yang
cukup berpengaruh, dengan varian masing-masing, yaitu pertama, ideologi
konservatif dengan variasi: fundamentalisme, intelektualisme, dan
konservatisme; kedua, ideologi liberalis dengan variasi: liberalism,
liberasionisme, dan anarkisme[1]. Nahdlatul Ulama dengan ideologi Aswaja
(ahlusunna wal jama’ah) yang sangat kental dan masih dilestarikan sampai
sekarang mempertahankan tradisi tentunya akan sangat jelas masuk pada kategori
berideologi konservatif, meskipun NU tidak pernah mungkin menetapkan seperti
itu. Ideologi secara etimologi dibentuk dari kata idea, berarti pemikiran,
konsep, atau gagasan, dan logos artinya pengetahuan. Dengan demikian ideologi
berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, tentang keyakinan atau
gagasan. Menurut Sastra Pratedja membatasinya secara singkat sekali, bahwa
yang disebut ideologi adalah “seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi
pada tindakan yang diorganisasi menjadi suatu sistem yang teratur[2].
Kita tahu bahwa Benteng perlawanan
terhadap golongan pembaharu yang didirikan kalangan tradisi di pulau Jawa berbentuk
Nahdlatul Ulama. Kehadiran dan kelahiran NU sebagai organisasi para ulama
di tengah-tengah masyarakat yang plural dan majemuk seperti Indonesia bukan
suatu kebetulan[3].
Terdapat pilihan-pilihan logis dan sadar atas terbentuknya NU oleh para ulama
tradisional waktu itu. Jika diteliti secara seksama, sejak kelahirannya, NU telah
dihadapkan pada pertarungan ideologi yang ada sebelumnya. Tidak hanya ideologi
keagamaan yang ada di tanah air, tetapi, dan ini yang lebih penting adalah
ideologi yang “diimpor” dari Mesir dan Saudi Arabia. Berbeda dengan ormas
keagamaan lainnya, kehadiran NU merupakan bagian dari desakan local untuk
merawat tradisi yang saat itu terancam oleh kalangan reformis atau modernis[4].
Ini adalah faktor dari dalam atau internal di tanah air. Tetapi, dari sisi
eksternal, kehadiran NU, langsung atau tidak langsung sebagai bentuk resistensi
terhadap faham wahabisme di satu sisi dan menguatnya kelompok pembeharuan di
Mesir yang dikomandoi oleh Jamaluddin al-Afghani dan Rasyid Ridho. Meskipun itu
bukanlah satu-satunya sebab yang merespon berdirinya NU[5].
Sedikit
menyinggung sejarah pendidikan NU, Pada Muktamar NU ke-3 (1928), elite NU
memprakarsai gerakan peduli pendidikan dengan mengajak para Muktamirin untuk
mengunjungi pesantren-pesantren besar seperti Tambak Beras yang dipimpin KH.
Wahab Chasbullah, Denanyar yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri, dan Nganjuk
yang dipimpin oleh K. Pathudin Seror Putih. Pada Muktamar NU ke-4 (1929),
panitia Muktamar merespon kecenderungan naiknya kuantitas dan kualitas
pendidikan yang mendorong para Muktamirin sepakat untuk membentuk wadah khusus
yang menangani bidang pendidikan yang bernama Hoof Bestur Nahdlatul Oelama
(HBNO) yang diketuai oleh Ustadz Abdullah Ubaid, waktu itu disebut presiden.
Pada perkembangan selanjutnya, terbentuklah Lembaga Pendidikan Maârif NU
(LPMNU) pada Muktamar NU ke-20 (1959) di Jakarta.
Dari arena Muktamar ke Muktamar, hingga Muktamar NU ke-30
(1999) di Kediri, Lirboyo, Jawa Timur, NU tetap menjadikan sektor pendidikan
sebagai mainstream (pemikiran utama). Munas dan Konbes NU tanggal 25-28 Juli
2002 di Pondok Gede Jakarta menghasilkan Taushiyah Pondok Gede Tahun 2002yang
mencoba mempertegas kembali posisi bidang pendidikan untuk menjadi prioritas
program NU. Untuk menafsirkan lebih rinci, tak lama setelah itu, tepatnya
tanggal 22-25 Agustus 2002 di Kawasan Puncak Batu Malang Jawa Timur,
diselenggarakan Rapat Kerja LPMNU dan Musyawarah Kerja Perguruan Tinggi NU. Di
forum tersebut, NU kembali mematangkan format, strategi dan guidlines (garis
panduan) pengembangan pendidikan di lingkungan NU.
Tidak bisa dikatakan bahwa sistem pendidikan pesantren
adalah identik dengan NU, namun Keberadaan pendidikan di wilayah NU berawal
dari keberadaan pesantren5). para kiai pesantren, dahulu kala,
ketika pulang dari Timur Tengah ke Indonesia, sebagian besar mendirikan pesantren
sebagai institusi pendidikan. Oleh karena pendidikan pesantren, maka keilmuan
yang diutamakan adalah keagamaan, khususnya fiqih-hukum-yurisprudensi; dan
karena kitab fiqih itu kebanyakan berbahasa Arab, maka untuk memahaminya
diperlukan ilmu alat berupa nahwuâ sharaf, jadi pesantren mesti memiliki
perangkat keilmuan nahwu-sharaf.
Jadi
keberadaan pendidikan di lingkungan NU sebelum madrasah adalah pesantren. Saat
ini pendidikan pesantren berada dalam naungan NU, yang penanganannya
dipasrahkan pada Lajnah RMI (Lembaga Rabithah Maâhid Islamiyah), sedangkan
pendidikan madrasah berada dalam naungan NU, yang penanganannya diserahkan
kepada Lembaga Pendidikan Maârif (LPM). Sekolah NU-Maârif didirikan untuk syiâr
Islam. Oleh karena untuka syiâr, maka yang penting ramai, dalam artian yang
penting sekolahnya berjumlah banyak. Persoalan kualitas nanti dulu dan pada
awalnya- tidak begitu dipedulikan. Akan tetapi pada perkembangan berikutnya,
sekolah NU-Maârif mengikuti kebutuhan sebagaimana keberadaan sekolah pada
umumnya. Sekolah pada umumnya mengembangkan potensi pokok yang harus dimiliki
oleh sekolah yang bersangkutan.
Pendidikan NU mempunyai dua ciri
yang esensial;
1.
Al-I’timad
alannafsi (berdikari).
2.
Fil
Ijtimaâiyah (memasyarakat), artinya dihidupi oleh masyarakat.
Madrasah
atau pesantren itu didirikan oleh masyarakat dan dibiayai sendiri oleh
masyarakat. Ketika masyarakat mau belajar atau mau menyekolahkan anaknya di
pesantren atau madrasah, mereka hanya ditunjukkan tempatnya oleh kiai, kemudian
mereka membangun kamar sendiri. Hal itu sekarang bergeser, pesantren atau
madrasah tidak berdikari, mereka juga mencari sumbangan ke pemerintah. Wali
santri sekarang tidak otomatis menyumbang kecuali ada tarikan dari pihak
sekolah. Jadi tidak ada kesukarelaan seperti dulu, kalau wali santri menitipkan
anaknya ke pesantren maka bangunan pesantren menjadi tanggung jawab wali
santri.
B. Sistem Pesantren
Dalam buku Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di
Indonesia (2001: 100-120), yang berisi kumpulan tulisan dari berbagai
sumber. Salah satu judul yang menarik adalah tulisan Hasan Basri dengan
judul Pesantren: Karakteristik dan Unsur-Unsur Kelembagaan[6]. tulisan
ini mencoba untuk memotret sekilas gambaran sistem pesantren dan karakteristiknya.
Berangkat dari definisi teoritis, pesantren menurut Mastuhu, adalah
lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral
keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari.
Definisi
lain yang diberikan oleh Sudjoko Prasodjo, pesantren adalah lembaga pendidikan
dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seseorang kiai
mengajarkan ilmu agama Islam kepada sntri-santri berdasarkan kitab-kitab yang
ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya
tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Dengan demikian, dalam
lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren sekurang-kurangnya ada
unsur-unsur: kiai, mesjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, dan pondok
atau asrama tempat tinggal para santri.
C. Karakteristik Pendidikan Pesantren
Ala NU
1. Materi Pelajaran dan Metode
Pelajaran
Sebagai lembaga
pendidikan Islam, pada dasarnya pesantren hanya mengajarkan agama, sedangkan
sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab.
Pelajaran agama yang dikaji ialah al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsir, aqa’id
dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis dan musthalah hadis, bahasa arab dengan
ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan arudh, tarikh,
mantiq dan tasawuf. Kitab yang dikaji umumnya kitab-kitab yang ditulis pada
abad pertengahan yang lazim disebut kitab kuning.
Adapun metode yang lazim dipergunakan dalam
pendidikan pesantren ialah wetonan, sorogan,
dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah dimana para santri
mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran[7].
Sedangkan metode sorogan ialah metode di mana santri menghadap kiai atau guru
seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Metode hafalan
ialah suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari
kitab yang dipelajarinya. Biasanya dalam bentuk syair atau nadzam agar lebih
mudah untuk dihafalkan.
2. Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan dalam
pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai
sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seseorang santri ditandai dengan
tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah
menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus imtihan (Ujian)
yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah ke kitab lain. Jadi, jenjang
pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal,
tapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah
sampai yang paling tinggi.
3. Fungsi Pesantren
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai
lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga social dan penyiar
agama. Sementara Azyumardi Azra menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren
tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam. Kedua,
pemeliharaan tradisi Islam, dan ketiga, reproduksi ulama. Di samping itu
pesantren juga menjadi sentral konsultasi masyarakat yang dating dengan
berbagai keperluan seperti minta nasihat, minta doa, dll.
4. Prinsip-Prinsip Pendidikan Pesantren
Setidak-tidaknya
ada dua belas prinsip yang dipegang teguh pesantren:
1.
Theocentric,
2.
suka
rela dalam pengabdian;
3.
kearifan;
4.
kesederhanaan;
5.
kolektivitas;
6.
kebebasan
terpimpin;
7.
kemandirian;
8.
pesantren
adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi;
9.
mengamalkan
ajaran agama;
10.
belajar
di pesantren bukan mencari ijazah;
11.
restu
kiai, artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat
bergantung pada kerelaan dan doa dari kiai.
5. Sarana dan tujuan pesantren
Dalam
bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh ciri khas kesederhanaan.
Sejak dulu lingkungan atau kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja
kesederhanaan secara fisik kini sudah berubah total. Banyak pesantren
tradisional yang memiliki gedung yang megah. Namun, kesederhanaan dapat dilihat
dari sikap dan prilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan
sehari-hari.
Mengenai
tujuan pesantren, sampai kini belum ada suatu rumusan yang definitif. antara
satu pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan,
meskipun semangatnya sama, yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat
serta meningkatkan ibadah kepada Allah. Hasil wawancara Mastuhu terhadap
pengurus pesantren layak untuk dituliskan, tujuan pendidikan pesantren adalah
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat
dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, sebagai rasul, yaitu menjadi
pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunah
nabi), maupun berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan
agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat
(‘zzul Islami wal muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan
kepribadian Indonesia.
6. Kehidupan Kiai dan Santri
Kegiatan
di pesantren berkisar pada pembagian waktu berdasarkan shalat lima waktu.
Dengan sendirinya pengertian waktu pagi, siang, dan sore di pesantren menjadi
berbeda dengan pengertian di luar.
Setidak-tidaknya
ada delapan ciri pendidikan pesantren, sebagai berikut:
1.
Adanya
hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya;
2.
Kepatuhan
santri kepada kiai;
3.
Hidup
hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren;
4.
Kemandirian
amat terasa di pesantren;
5.
Jiwa
tolong menolong dan suasana persaudaraan (ukhwah) sangat mewarnai pergaulan di
pesantren;
6.
Disiplin
sangat dianjurkan di pesantren;
7.
Berani
menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu segi pendidikan yang
diperoleh para santri;
8.
Pemberian
ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai transmisi pengetahuan
yang diberikan kepada santri-santri.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Salah
satu ormas keagamaan yang kemudian menformulasikan ajaran ASWAJA sebagai dasar
ajaran agamanya misalnya adalah Nahdhatul Ulama (NU). Kerangka pemahaman
ASWAJA yang dikembangkan NU memiliki karakteristik yang khusus yang mungkin
juga membedakan dengan kelompok muslim lainya yaitu bahwa ajaran ASWAJA yang
dikembangkan berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang
aqidah, Fiqh dan Tasawwuf.
Di bidang Aqidah,
model yang diikuti oleh NU adalah pemikiran-pemikiran aqidah yang dikembangkan
oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Pada bidang
Fiqh, mengikuti model pemikiran dan metode istinbat hukum yang dikembangkan
empat imam madzhab (aimmat al- madzahib al-arba’ah) yaitu
madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan dibidang Tasawwuf
mengikuti model yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali dan Al-Juwaini
al-Baghdadi.
DAFTAR
PUSTAKA
Rubaidi, Radikalisme Islam,
Nahdlatul Ulama, Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2010
Achmadi, Ideologi
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 4
Artikel Pendidikan Network MENGENALPENDIDIKAN
NAHDHATUL ULAMA.htm. akses November 2014
[2] Musthafa
Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan
Islam,Yogyakarta: Pustaka SM, 2009,
h. 145
[3] Deliar
Noer, h, 241
[4] Muhammadiyah, Syarikat Islam dan
al-Irsyad
[5] A.
Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama, Masa Depan Moderatisme
Islam di Indonesia,Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010, h. 22
[6] Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (2001: 100-120)
[7] Pendidikan
Pesantren Nahdlatul Ulama, Salafiyah.