BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang
dilaksanakan pada masa sekarang dilakukan berdasarkan demokrasi ekonomi yang
mandiri dan handal guna mewujudkan terciptanya masyarakat adil dan makmur
secara meluas, selaras adil dan merata. Pembangunan ekonomi yang diarahkan
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi ketimpangan ekonomi
serta kesenjangan sosial guna mencapai kesejahteraan manusia.
Untuk mewujudkan masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan asas kekeluargaan sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945. Kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional perlu
senantiasa dipelihara dengan baik. Guna mencapai tujuan tersebut maka
pelaksanaan pembangunan ekonomi perlu lebih memperhatikan keserasian dan
kesinambungan aspek-aspek pemerataan dan pertumbuhan.
Globalisasi mendorong perkembangan
ekonomi yang sangat pesat, sehingga diperlukan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga
ekonomi, khususnya bagi lembaga pemberi piutang seperti bank dan lembaga
keuangan lainnya, untuk menjamin kembalinya haknya. Banyak benda yang bisa
dijaminkan dalam perhutangan, bisa benda bergerak ataupun benda bergerak.
Hak tanggungan merupakan jaminan
benda tak bergerak, tentang hak tanggungan ini mulai berlaku tanggal 19 april
1996 dengan UU No. 4 tahun 1996. pada dasarnya, pada UU no. 5 tahun 1960 telah
dijanjikan bahwa akan diatur hak tanggungan sebagai hak yang memberi jaminan
atas tanahdan bendabenda yang berada atas tanah itu, baik berikut dengan bendabenda
atas tanah tersebut atau tidak, akan dibuat peraturannya oleh pemerintah.
Hak
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya
disebut Hak Tanggungan ini mulai berlaku tanggal 19 april 1996
dengan UU No. 4 tahun 1996, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5
Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu
terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Pemberian
Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam perjanjian dan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang
bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Hak
tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut
dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian
Hak Tanggungan.
Namun
pada prakteknya di masyarakat, sering kali terjadi ketidaksesuaian antara
peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaanya. Hak Tanggungan ada yang
tidak didaftarkan di Kantor Pertanahan. Hal ini menimbulkan permasalahan
terhadap hak tanggungan tersebut. Selain itu juga sering kali pendaftaran Hak
Tanggungan dilakukan terlambat dari jangka waktu yang ditentukan oleh Undang -Undang
Hak Tanggungan.
Latar belakang
timbulnya lembaga fidusia, sebagaimana dipaparkan oleh para ahli adalah karena
ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga pand (gadai) mengandung banyak
kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti
perkembangan masyarakat.[1]
B. Rumusan Masalah
Apa aspek hukum,
persamaan, perbedaan dan hubungan antara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui
aspek hukum, persamaan, perbedaan dan hubungan antara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG HAK
TANGGUNGAN DAN JAMINAN FIDUSIA
A. Hak Tanggungan
1. Definisi
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan selanjutnya disebut
UUHT dalam Pasal 1 ayat 1 menyatakan:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak
Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain”.
Jadi, hak
tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan diutamakan kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain.
2. Dasar Hukum
Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan
hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis kedua-duanya lalu diganti dengan
hukum tertulis sesuai dengan ketetapan MPRS Nomor II/MPR/1960 yang intinya
memperkuat adanya unifikasi hukum tersebut. Sebelum berlakunya UUPA
(Undang-Undang Pokok Agraria), dalam hukum dikenal lembaga-lembaga hak jaminan
atas tanah yaitu apabila yang dijadikan jaminan tanah hak barat, seperti Hak
Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya adalah Hipotik,
sedangkan Hak Milik menjadi obyek Credietverband. Dengan demikian mengenai segi
materilnya mengenai Hipotik dan Credietverband atas tanah masih tetap
berdasarkan ketentuan-ketentuan KUHPerdata dan Stb 1908 Nomor 542 jo Stb 1937
Nomor 190 yaitu misalnya mengenai hak-hak dan kewajiban yang timbul dari adanya
hubungan hukum itu mengenai asas-asas Hipotik, mengenai tingkatan-tingkatan Hipotik
janji-janji dalam Hipotik dan Credietverband.[2]
Dengan berlakunya UUPA, (UU Nomor 5 Tahun 1960) maka
dalam rangka mengadakan unifikasi hukum tanah, dibentuklah hak jaminan atas
tanah yang diberi nama Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hipotik dan
Credietverband dengan Hak milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagai
obyek yang dapat dibebaninya. Hak-hak barat sebagai obyek Hipotik dan Hak Milik
sebagai obyek Credietverband tidak ada lagi, karena hak-hak tersebut telah
dikonversi menjadi salah satu hak baru yang diatur dalam UUPA.
Munculnya istilah Hak Tanggungan itu lebih jelas
setelah muncul Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah pada tanggal 9 April
1996.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang
pengikatan jaminan dengan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah
tersebut sebagai jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan
ketentuan-ketentuan Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata).
Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya
adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada
kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil
karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan
turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional
didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang
menjelaskan bahwa setiap
perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan
sendirinya meliputi benda-benda tersebut.[3] Penerapan
asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan
dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas
dasar itu UUHT memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi
benda-benda diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan
dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara
tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
3. Subjek
Subjek hak tanggungan adalah:
a.
Pemberi Hak Tanggungan
Berdasarkan Pasal 8, Pemberi Hak
Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang
bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 8 tersebut, maka
Pemberi Hak Tanggungan di sini adalah pihak yang berutang atau debitor. Namun,
subyek hukum lain dapat pula dimungkinkan untuk menjamin pelunasan utang
debitor dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan.
Kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan tersebut harus ada pada pemberi
hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan,
karena lahirnya hak tanggungan adalah pada saat didaftarkannya hak tanggungan,
maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan
diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak
tanggungan.[4]
Dengan demikian, pemberi hak
tanggungan tidak harus orang yang berutang atau debitor, akan tetapi bisa
subyek hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek hak tanggungannya. Misalnya pemegang hak atas tanah yang
dijadikan jaminan, pemilik bangunan, tanaman dan/hasil karya yang ikut dibebani
hak tanggungan.
b.
Pemegang Hak Tanggungan
Menurut Pasal 9 UUHT, Pemegang Hak
Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai
pihak yang berpiutang.
Sebagai pihak yang berpiutang di
sini dapat berupa lembaga keuangan berupa bank, lembaga keuangan bukan bank,
badan hukum lainnya atau perseorangan.
Oleh karena hak tanggungan sebagai
lembaga jaminan hak atas tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai
secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, maka tanah tetap berada
dalam penguasaan pemberi hak tanggungan. Kecuali dalam keadaan yang disebut
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c Undang-undang Hak Tanggungan. Maka pemegang hak
tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia dan dapat juga oleh warga negara asing atau badan hukum asing.
4. Obyek
Obyek hak tanggungan adalah sesuatu yang dapat dibebani
dengan hak tanggungan.
Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, maka obyek
hak tanggungan harus memenuhi empat (4) syarat, yaitu:[5]
a
Dapat dinilai dengan uang, karena
utang yang dijamin berupa uang. Maksudnya adalah jika debitor cidera janji maka
obyek hak tanggungan itu dapat dijual dengan cara lelang.
b
Mempanyai sifat dapat dipindahkan,
karena apabila debitor cidera janji, maka benda yang dijadikan jaminan akan
dijual. Sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasikan
untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya.
c
Termasuk hak yang didaftar menurut
peraturan pendaftaran tanah yang berlaku, karena harus dipenuhi "syarat
publisitas". Maksudnya adalah adanya kewajiban untuk mendaftarkan obyek
hak tanggungan dalam daftar umum, dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan. Unsur
ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan atau preferen yang diberikan kepada
kreditor pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk itu
harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut pada
buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap
orang dapat mengetahuinya.
d
Memerlukan penunjukkan khusus oleh
undang-undang. Dalam Pasal 4 undang-undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa yang
dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah:
1) Hak Milik (Pasal 25 UUPA);
2) Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA) ;
3) Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA);
4) Hak Pakai Atas Tanah Negara (Pasal 4 ayat (D), yang
menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan. Maksud dari hak pakai atas tanah Negara di atas adalah Hak
Pakai yang diberikan oleh Negara kepada orang perseorangan dan badan-badan
hukum perdata dengan jangka waktu terbatas, untuk keperluan pribadi atau usaha.
Sedangkan Hak Pakai yang diberikan kepada Instansi-instansi Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial serta Perwakilan Negara
Asing yang peruntukkannya tertentu dan telah didaftar bukan merupakan hak pakai
yang dapat dibebani dengan hak tanggungan karena sifatnya tidak dapat
dipindahtangankan. Selain itu, Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah juga
bukan merupakan obyek hak tanggungan;
5) Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas satuan Rumah
Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara. (Pasal 27 jo UU No. 16 Tahun 1985
Tentang Rumah Susun.
5.
Sifat-sifat
Apabila mengacu beberapa Pasal
dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka terdapat beberapa sifat dan asas
dari Hak Tanggungan. Adapun sifat dari hak tangggungan adalah sebagai berikut:
a. Hak Tanggungan mempunyai sifat hak didahulukan, yakni
memiliki kedudukan yang diutamakan bagi kreditur tertentu terhadap kreditur
lain (droit de preference) dinyatakan dalam pengertian Hak Tanggungan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996:
“Hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan
hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur
tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”,
Penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 pada angka 4 menyatakan:
“Bahwa apabila debitur cidera
janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelengan umum
tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain.
Kedudukan yang diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi prefensi
piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku”.
b. Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi.
Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi menurut Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
“Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak
dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”,
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
“Apabila Hak Tanggungan
dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan hutang yang dijamin
dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai
masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak
Tanggungan,yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian
Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin
sisa hutang yang belum dilunasi”.
c. Hak Tanggungan mempunyai sifat membebani berikut atau
tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Hak Tanggungan dapat dibebankan
selain atas tanah juga berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut
sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor
4 Tahun 1996, menentukan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
itu. Hak Tanggungan dapat saja dibebankan bukan saja pada hak atas tanah
yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan
hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.[6]
d. Hak Tanggungan mempunyai sifat Accessoir. Hak Tanggungan
menurut sifat accessoir dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 angka 8 menentukan bahwa:
“Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan
ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu
perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan
keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya”.
Perjanjian pembebanan Hak
Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya
adalah karena ada perjanjian lain yang disebut perjanjian induk. Perjanjian
induk bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang
menimbulkan hutang yang dijamin. Dengan kata lain, perjanjian pembebanan Hak
Tanggungan adalah perjanjian accessoir.
e. Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat diberikan lebih dari
satu hutang.
Hak Tanggungan dapat menjamin
lebih dari suatu hutang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 menentukan:
“Hak Tanggungan dapat diberikan
untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu hutang
atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum”.
f. Hak Tanggungan mempunyai sifat tetap mengikuti objeknya
dalam tangan siapapun objek tersebut berada.
Hak Tanggungan mengikuti objeknya
dalam tangan siapapun objek Hak Tanggungan itu berada berdasarkan Pasal 7
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan:
“Hak Tanggungan tetap mengikuti
objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”.
Dengan demikian Hak Tanggungan
tidak akan hapus sekalipun objek Hak Tanggungan itu berada pada pihak lain.
g. Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat beralih dan
dialihkan. Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan sebagaimana diatur dalam
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
“Jika piutang yang dijamin dengan
Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab
lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditur yang
baru.”
Hak Tanggungan dapat beralih dan
dialihkan karena mungkin piutang yang dijaminkan itu dapat beralih dan
dialihkan. Ketentuan bahwa Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan
yaitu dengan terjadinya peralihan atau perpindahan hak milik atas piutang yang
dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut atau Hak Tanggungan beralih karena
beralihnya perikatan pokok.[7]
h. Hak Tanggungan mempunyai sifat pelaksanaan eksekusi yang
mudah.
Menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996, menentukan:
“Apabila debitur cidera janji, pemegang
Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan dibawah
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut.”
Dengan sifat ini, jika debitur
cidera janji maka kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan tidak perlu
memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, juga tidak perlu meminta
penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak
Tanggungan yang menjadi jaminan hutang. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung
mengajukan permohonan kepada kepala kantor lelang untuk melakukan pelelangan
objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
6. Pengalihan
Peraturan mengenai pengalihan hak tanggungan dimuat
didalam Pasal
16 UUHT
1.
Jika piutang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain,
Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru.
2.
Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor
Pertanahan.
3.
Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan
mencatatnya pada buku tanah Hak Tanggungan dan buku-tanah hak atas tanah yang
menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat
Hak Tanggungan dan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4.
Tanggal pencatatan pada buku-tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah
diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran
beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur,
catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
5. Beralihnya
Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari tanggal pencatatan.
7. Hapus
Pasal 18 ayat (1) UUHT;
sebab-sebab hapusnya Hak Tanggungan :
a. Hutang yang dijaminkan lunas
b. Pelepasan hak oleh pemegang Hak Tanggungan
c. Pembersihan Hak Tanggungan, berdasarkan penetapan
peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
B. Jaminan Fidusia
1. Definisi
Fidusia menurut
asal katanya berasal dari bahasa Romawi fides yang berarti kepercayaan. Fidusia
merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia
Istilah Jaminan Fidusia terdiri
dari 2 kata yaitu: Jaminan dan fidusia. Kata jaminan berarti tanggungan atas
pinjaman yang diterima.[8]
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia selanjutnya disebut UUJF dalam pasal 1 ayat 1
menyatakan:
“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang
tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima
Fidusia terhadap kreditor lainnya”.
Pengertian jaminan fidusia di atas
dengan jelas menggambarkan, bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan yang
bersifat memberi jaminan pelunasan (pembayaran) utang debitur kepada kreditur.
Utang debitur kepada kereditur dimaksud bisa terjadi karena perjanjian maupun
karena undang-undang, yang berupa:
a. Utang telah ada;
b. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah
diperjanjikan dalam jumlah tertentu;
c. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya
berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi
(pasal 7).
2. Dasar Hukum
Pengaturan mengenai jaminan fidusia pada saat ini telah diatur
dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Yang mana di
dalam Undang-Undang ini telah mengatur ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi,
ditaati serta dilaksanakan dalam melakukan perjanjian kredit dengan jaminan
fidusia, termasuk ketentuan yang mewajibkan untuk mendaftarkan objek jaminan
fidusia dikantor pendaftaran fidusia.
Selain terdapat pada UUJF, dasar hukum mengenai Jaminan Fidusia
juga terdapat dalam PP Nimor 86 Tahun
2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fiducia dan Biaya Pembuatan Akta
Jaminan Fidusia.
3. Subjek
a.
Pemberi
Jaminan fidusia
Pemberi Jaminan fidusia
(debitor), merupakan orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia.
b.
Penerima
Jaminan fidusia
Penerima Jaminan fidusia
(kreditor), merupakan orang perseorangan atau korporasi yang memiliki piutang
yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia (Pasal 1 angka 6 UU No. 42
Tahun 1999).
4. Objek
a.
Obyek Jaminan Fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan
dialihkan baik yang berwujud, yang terdaftar, tidak terdaftar, yang bergerak,
tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan atau Hipotek
(Pasal 1 butir 4 UUF). Mengenai obyek jaminan fidusia
b.
Pasal 10 UUF disebutkan bahwa:
1.
Jaminan Fidusia meliputi
hasil dari benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Yang dimaksud dengan
“hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia” adalah segala sesuatu
yang diperoleh dari benda yang dibebani jaminan fidusia.
2.
Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang
menjadi obyek fidusia diasuransikan.
5. Sifat-sifat
a.
Fidusia bersifat memaksa, karena dalam hal ini terjadi penyerahan
hak milik atas benda yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia, walaupun tanpa
penyerahan fisik benda yang dijadikan obyek jaminan.
b.
Dapat digunakan, digabungkan, dicampurkan atau dialihkan terhadap
benda atau hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dengan
perstujuan dari Penerima Fidusia.
c.
Bersifat individualiteit, bahwa benda yang dijadikan obyek jaminan
fidusia melekat secara utuh pada utangnya sehingga meskipun sudah dilunasi
sebagian, namun hak fidusia atas benda yang dijadikan obyek jaminan tidak dapat
dihapus dengan begitu saja hingga seluruh utang teah dilunasi.
d.
Bersifat menyeluruh (totaliteit), fidusia mengikuti segala
ikutannya yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan benda terhadap mana hak
kebendaan diberikan.
e.
Tidak dapat dipisah-pisahkan (Onsplitsbaarheid), berarti pemberian
fidusia hanya dapat diberikan untuk keseluruhan benda yang dijadikan jaminan
dan tidak mungkin hanya sebagian saja.
f.
Bersifat mendahulu (droit de preference), bahwa Penerima Fidusia
mempunyai hak yang didahulukan terhadap kreditur laimmua untuk mengambil
pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang dijadikan obyek jaminan
fidusia
g.
Mengikuti bendanya (droit de suite), pemegang hak fidusia
dilindungi hak kebendaannya, jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada, kecuali
pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia.
h.
Harus diumumkan ( asa publisitas ), benda yang dijadikan obyek jamina fidusia wajib didaftarkan, hal ini merupakan
jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani
jaminan fidusia
6.
Pengalihan
a. Pasal 19
1) Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia
mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia
kepada kreditor baru.
2) Beralihnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
b. Pasal 20
Jaminan Fidusia tetap mengikuti
Benda yang menjadi objek jaminan Fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut
berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan
Fidusia.
c. Pasal 21
1)
Pemberi Fidusia dapat mengalihkan
benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia demgan cara dan prosedur
yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan.
2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak berlaku, apabila telah terjadi cidera janji oleh debitor
dan atau Pemberi Fidusia pihak ketiga.
3)
Benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia yang telah dialihkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diganti
oleh Pemberi Fidusia dengan objek yang setara.
4)
Dalam hal Pemberi Fidusia cidera
janji, maka hasil pengalihan dan atau tagihan yang timbul karena pengalihan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), demi hukum menjadi objek Jaminan Fidusia
pengganti dan objek Jaminan Fidusia yang dialihkan.
d. Pasal 22
Pembeli benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang merupakan benda persediaan bebas dari
tuntutan meskipun pembeli tersebut mengetahui tentang adanya Jaminan Fidusia
itu, dengan ketentuan bahwa pembeli telah membayar lunas harga penjualan Benda
tersebut sesuai dengan harga pasar.
e. Pasal 23
1) Dengan tidak
mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, apabila Penerima
Fidusia setuju bahwa Pemberi Fidusia dapat menggunakan, menggabungkan,
mencampur, atau mengalihkan Benda atau hasil dari Benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia, atau menyetujui melakukan penagihan atau melakukan kompromi
atas piutang, maka persetujuan tersebut tidak berarti bahwa Penerima Fidusia
melepaskan Jaminan Fidusia.
2) Pemberi
Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan,
kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.
f. Pasal 24
Penerima
Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi
Fidusia baik yang timbul dan hubungan kontraktual atau yang timbul dari
perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan Benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
7. Hapus
Hapusnya
jaminan fidusia diatur dalam Pasal 25 UUJF, yakni jaminan fidusia hapus karena
hal-hal sebagai berikut:
a. Hapusnya utang
yang dijamin dengan fidusia.
b. Pelepasan hak
atas jaminan fidusia oleh debitor, dan
c. Musnahnya
benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Persamaan Hak Tanggungan dengan Jaminan Fidusia
Hak Tanggungan
|
Jaminan Fidusia
|
1.
Persamaan hak tanggunan dan jaminan fidusial yaitu sama-sama
menjelaskan tentang jaminan.
2.
Persamaan hak tanggunan dan jaminan fidusial sama-sama memiliki
sifat kebendaan.
3.
Persamaan hak tanggungan dan
jaminan fidusia sama-sama memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pelaku
atau lembaga-lembaga ekonomi.
|
|
Subyek:
Pemberi dan penerima Hak
Tanggungan. Pemberi Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak
Tanggungan.
Penerima Hak Tanggungan adalah
orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang
|
Subyek:
Pemberi dan penerima jaminan fidusia.
Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau badan hukum pemilik benda yang
menjadi objek jaminan fidusia.
Penerima fidusia adalah orang
perorangan atau badan hukum yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin
dengan jaminan fidusia.
|
B. Perbedaan Hak
Tanggungan dengan Jaminan Fidusia
Hak Taggungan
|
Jaminan Fidusia
|
Dasar Hukum
1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Undang-Undang Pokok Agraria
|
Dasar Hukum
1) Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
2) PP Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata
Cara Pendaftaran Jaminan Fiducia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
|
Obyek:
a. Pasal 4 ayat 1 UUHT:
1) Hak Milik
2) Hak Guna Usaha
3) Hak Guna Bangunan
b. Pasal 4 ayat 2 UUHT:
1) Hak Pakai atas tanah negara yang wajib didaftarkan dan
dipindah tangankan
c. Pasal 27 UUHT:
1) Rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun
|
Obyek:
a. Benda yang dimiliki dan dialihkan kepemilikannya, baik
berupa benda berwujud atau tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak
yang bukan termasuk hipotik dan hak tanggungan, serta benda terdaftar atau
tidak terdaftar.
b. Pasal 10 UUJF:
1)
Jaminan Fidusia meliputi hasil
dari benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia.
2)
Jaminan Fidusia meliputi klaim
asuransi, dalam hal benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia diasuransikan.
|
Sifat-sifat
a. Hak Tanggungan mempunyai sifat hak didahulukan, yakni
memiliki kedudukan yang diutamakan bagi kreditur tertentu terhadap kreditur
lain (droit de preference)
b. Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi.
c. Hak Tanggungan mempunyai sifat membebani berikut atau
tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
d. Hak Tanggungan mempunyai sifat Accessoir.
e. Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat diberikan lebih
dari satu hutang.
f. Hak Tanggungan mempunyai sifat tetap mengikuti objeknya
dalam tangan siapapun objek tersebut berada.
g. Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat beralih dan
dialihkan. Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan karena mungkin piutang
yang dijaminkan itu dapat beralih dan dialihkan. Ketentuan bahwa Hak
Tanggungan dapat beralih dan dialihkan yaitu dengan terjadinya peralihan atau
perpindahan hak milik atas piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan
tersebut atau Hak Tanggungan beralih karena beralihnya perikatan pokok.
h. Hak Tanggungan mempunyai sifat pelaksanaan eksekusi
yang mudah.
|
Sifat-sifat
1)
Fidusia bersifat memaksa, karena dalam hal ini terjadi penyerahan
hak milik atas benda yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia, walaupun tanpa
penyerahan fisik benda yang dijadikan obyek jaminan.
2)
Dapat digunakan, digabungkan, dicampurkan atau dialihkan terhadap
benda atau hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dengan
perstujuan dari Penerima Fidusia.
3)
Bersifat individualiteit, bahwa benda yang dijadikan obyek
jaminan fidusia melekat secara utuh pada utangnya sehingga meskipun sudah
dilunasi sebagian, namun hak fidusia atas benda yang dijadikan obyek jaminan
tidak dapat dihapus dengan begitu saja hingga seluruh utang teah dilunasi.
4)
Bersifat menyeluruh (totaliteit), fidusia mengikuti segala
ikutannya yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan benda terhadap mana
hak kebendaan diberikan.
5)
Tidak dapat dipisah-pisahkan (Onsplitsbaarheid), berarti
pemberian fidusia hanya dapat diberikan untuk keseluruhan benda yang
dijadikan jaminan dan tidak mungkin hanya sebagian saja.
6)
Bersifat mendahulu (droit de preference), bahwa Penerima Fidusia
mempunyai hak yang didahulukan terhadap kreditur laimmua untuk mengambil
pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang dijadikan obyek jaminan
fidusia
7)
Mengikuti bendanya (droit de suite), pemegang hak fidusia
dilindungi hak kebendaannya, jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada, kecuali
pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia.
8)
Harus diumumkan, benda yang dijadikan obyek jamina fidusia wajib didaftarkan, hal ini merupakan
jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah
dibebani jaminan fidusia.
|
Pengalihan:
a. Pasal
16
1.
Jika piutang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab
lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang
baru.
2.
Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada
Kantor Pertanahan.
3.
Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan
mencatatnya pada buku tanah Hak Tanggungan dan buku-tanah hak atas tanah yang
menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat
Hak Tanggungan dan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4.
Tanggal pencatatan pada buku-tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah
diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran
beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur,
catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
5. Beralihnya
Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari tanggal pencatatan
sebagaimana dimaksud pada ayat
|
Pengalihan:
a. Pasal 19
1) Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia
mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia
kepada kreditor baru.
2) Beralihnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
b. Pasal 20
Jaminan Fidusia tetap mengikuti
Benda yang menjadi objek jaminan Fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut
berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan
Fidusia.
c. Pasal 21
1)
Pemberi Fidusia dapat
mengalihkan benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia demgan cara
dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan.
2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak berlaku, apabila telah terjadi cidera janji oleh debitor
dan atau Pemberi Fidusia pihak ketiga.
3)
Benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia yang telah dialihkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
diganti oleh Pemberi Fidusia dengan objek yang setara.
4)
Dalam hal Pemberi Fidusia cidera janji, maka
hasil pengalihan dan atau tagihan yang timbul karena pengalihan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), demi hukum menjadi objek Jaminan Fidusia pengganti
dan objek Jaminan Fidusia yang dialihkan.
d. Pasal 22
Pembeli benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia yang merupakan benda persediaan bebas dari tuntutan meskipun pembeli
tersebut mengetahui tentang adanya Jaminan Fidusia itu, dengan ketentuan
bahwa pembeli telah membayar lunas harga penjualan Benda tersebut sesuai
dengan harga pasar.
e. Pasal 23
1) Dengan tidak
mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, apabila Penerima
Fidusia setuju bahwa Pemberi Fidusia dapat menggunakan, menggabungkan,
mencampur, atau mengalihkan Benda atau hasil dari Benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia, atau menyetujui melakukan penagihan atau melakukan kompromi
atas piutang, maka persetujuan tersebut tidak berarti bahwa Penerima Fidusia
melepaskan Jaminan Fidusia.
2) Pemberi
Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda
persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima
Fidusia.
f. Pasal 24
Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban
atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dan
hubungan kontraktual atau yang timbul dari perbuatan melanggar hukum
sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan Benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia.
|
Hapus:
Pasal 18 ayat (1) UUHT;
sebab-sebab hapusnya Hak Tanggungan :
1. Hutang yang dijaminkan lunas
2. Pelepasan hak oleh pemegang Hak Tanggungan
3. Pembersihan Hak Tanggungan, berdasarkan penetapan
peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
|
Hapus:
Hapusnya jaminan fidusia diatur dalam Pasal 25 UUJF,
yakni jaminan fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut:
1. Hapusnya utang
yang dijamin dengan fidusia.
2. Pelepasan
hak atas jaminan fidusia oleh debitor, dan
3. Musnahnya
benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
|
BAB IV
PENUTUP/SIMPULAN
A. Persamaan
Persamaan antara antara hak tanggungan dengan jaminan fidusia yaitu pada subyeknya, yaitu
Pemberi dan penerima jaminan.
Selain itu, persamaannya adalah sama-sama
memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pelaku atau lembaga-lembaga
ekonomi.
B. Perbedaan
Perbedaan antara hak
tanggungan dengan jaminan fidusia intinya terletak pada jaminan yg dijaminkan
oleh kreditur. Yaitu pada Hak tanggungan yang dijaminkan adalah sertifikat dari
benda tidak bergerak, sedangkan pada Jaminan Fidusia yang dijaminkan adalah
surat tanda kepemilikan benda bergerak.
C. Hubungan
Hak Tanggungan dengan Jaminan Fidusia, jaminan fidusia dan hak tanggungan sangat berhungan,
dengan kebendaan baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, baik yang
berwujud atau tidak berwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Harsono.
Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2000.
Muljadi.
Kartini dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Jakarta, Kencana, 2008.
Nurhayani.
Neng Yani, Hukum Perdata, Bandung, Pustaka Setia, 2015.
Patrik.
Purwahid, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang,
Badan Penerbit UNDIP, 1986.
Pusat
Bahasa Depertemen Pendidikian Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Edisi
Ketiga), Jakarta, Balai Pustaka, 2002.
Satrio.
J, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti, 1991.
Sofwan.
Sri Soedewi Masjchoen, Beberapa Masalah Pelaksanaan Jaminan Khususnya Fidusia
di Dalam Praktik dan Pelaksanaannya di Indonesia, Yogyakarta, Fakultas
Hukum Universitas Gajah Mada dan Liberty, 1977.
Sofwan. Sri Soedewi Masjchoen, Hak
Jaminan Atas Tanah, Yogyakarta, Liberty, 1975.
Sutarno, Aspek-Aspek
Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung, Alfabeta, 2003.
Syahrani.
Riduan, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung, Alumni, 2006.
Usman.
Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008.
Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Kartika,
Jaminan Fidusia, melaui <http://yukalaw.blogspot.co.id/2012/02/jaminan-fidusia.html>, data diunduh Sabtu, 12
Desember 2015 pada pukul 14:34.
Mutaqqin.
Hadi, Subyek dan Obyek Jaminan Fidusia, melalui <http://pustakabakul.blogspot.co.id/2013/07/subyek-dan-obyek-jaminan-fidusia.html>, data diunduh Sabtu, 12
Desember 2015 pada pukul 14:24.
Nugraha.
Sendi, Hak Tanggungan, melalui <http://sendhynugraha.blogspot.co.id/2013/04/hak-tanggungan.html>, data diunduh Sabtu, 12
Desember 2015 pada pukul 14: 49.
Saor. Fernandes Raja, Hak Tanggungan (subjek, objek, sifat, dan ciri), melalui <http://raja1987.blogspot.co.id/2009/06/hak-tanggungan-subjek-objek-sifat-dan.html>, data diunduh Sabtu, 12
Desember 2015 pada pukul 15:03.
[1] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Beberapa Masalah
Pelaksanaan Jaminan Khususnya Fidusia di Dalam Praktik dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan Liberty,
1977, hlm. 116.
[3] Purwahid Patrik, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam
Perjanjian, Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 1986, hlm. 52
[5] Boedi Harsono, Hukum
Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 2000, hlm.425
[8] Pusat Bahasa Depertemen Pendidikian
Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Cetakan II, Jakarta:
Balai Pustaka, 2002, hlm. 456.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar