Senin, 01 Februari 2016

Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pada masa sekarang dilakukan berdasarkan demokrasi ekonomi yang mandiri dan handal guna mewujudkan terciptanya masyarakat adil dan makmur secara meluas, selaras adil dan merata. Pembangunan ekonomi yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi ketimpangan ekonomi serta kesenjangan sosial guna mencapai kesejahteraan manusia.
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan asas kekeluargaan sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional perlu senantiasa dipelihara dengan baik. Guna mencapai tujuan tersebut maka pelaksanaan pembangunan ekonomi perlu lebih memperhatikan keserasian dan kesinambungan aspek-aspek pemerataan dan pertumbuhan.
Globalisasi mendorong perkembangan ekonomi yang sangat pesat, sehingga diperlukan kepastian hukum bagi lembaga-­lembaga ekonomi, khususnya bagi lembaga pemberi piutang seperti bank dan lembaga keuangan lainnya, untuk menjamin kembalinya haknya. Banyak benda yang bisa dijaminkan dalam perhutangan, bisa benda bergerak ataupun benda bergerak.
Hak tanggungan merupakan jaminan benda tak bergerak, tentang hak tanggungan ini mulai berlaku tanggal 19 april 1996 dengan UU No. 4 tahun 1996. pada dasarnya, pada UU no. 5 tahun 1960 telah dijanjikan bahwa akan diatur hak tanggungan sebagai hak yang memberi jaminan atas tanahdan benda­benda yang berada atas tanah itu, baik berikut dengan benda­benda atas tanah tersebut atau tidak, akan dibuat peraturannya oleh pemerintah.
Hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan ini mulai berlaku tanggal 19 april 1996 dengan UU No. 4 tahun 1996, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam perjanjian dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Namun pada prakteknya di masyarakat, sering kali terjadi ketidaksesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaanya. Hak Tanggungan ada yang tidak didaftarkan di Kantor Pertanahan. Hal ini menimbulkan permasalahan terhadap hak tanggungan tersebut. Selain itu juga sering kali pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan terlambat dari jangka waktu yang ditentukan oleh Undang -Undang Hak Tanggungan.
Latar belakang timbulnya lembaga fidusia, sebagaimana dipaparkan oleh para ahli adalah karena ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga pand (gadai) mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat.[1]

B.     Rumusan Masalah
Apa aspek hukum, persamaan, perbedaan dan hubungan antara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

C.     Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui aspek hukum, persamaan, perbedaan dan hubungan antara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.



BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN JAMINAN FIDUSIA
A.    Hak Tanggungan
1.      Definisi
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan selanjutnya disebut UUHT dalam Pasal 1 ayat 1 menyatakan:

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”.
Jadi, hak tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

2.      Dasar Hukum
Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis kedua-duanya lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai dengan ketetapan MPRS Nomor II/MPR/1960 yang intinya memperkuat adanya unifikasi hukum tersebut. Sebelum berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), dalam hukum dikenal lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah yaitu apabila yang dijadikan jaminan tanah hak barat, seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya adalah Hipotik, sedangkan Hak Milik menjadi obyek Credietverband. Dengan demikian mengenai segi materilnya mengenai Hipotik dan Credietverband atas tanah masih tetap berdasarkan ketentuan-ketentuan KUHPerdata dan Stb 1908 Nomor 542 jo Stb 1937 Nomor 190 yaitu misalnya mengenai hak-hak dan kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu mengenai asas-asas Hipotik, mengenai tingkatan-tingkatan Hipotik janji-janji dalam Hipotik dan Credietverband.[2]
Dengan berlakunya UUPA, (UU Nomor 5 Tahun 1960) maka dalam rangka mengadakan unifikasi hukum tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah yang diberi nama Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hipotik dan Credietverband dengan Hak milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagai obyek yang dapat dibebaninya. Hak-hak barat sebagai obyek Hipotik dan Hak Milik sebagai obyek Credietverband tidak ada lagi, karena hak-hak tersebut telah dikonversi menjadi salah satu hak baru yang diatur dalam UUPA.
Munculnya istilah Hak Tanggungan itu lebih jelas setelah muncul Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah pada tanggal 9 April 1996.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan-ketentuan Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap

perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut.[3] Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu UUHT memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

3.      Subjek
Subjek hak tanggungan adalah:
a.       Pemberi Hak Tanggungan
Berdasarkan Pasal 8, Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 8 tersebut, maka Pemberi Hak Tanggungan di sini adalah pihak yang berutang atau debitor. Namun, subyek hukum lain dapat pula dimungkinkan untuk menjamin pelunasan utang debitor dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan.
Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan tersebut harus ada pada pemberi hak tanggungan  pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan, karena lahirnya hak tanggungan adalah pada saat didaftarkannya hak tanggungan, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan.[4]
Dengan demikian, pemberi hak tanggungan tidak harus orang yang berutang atau debitor, akan tetapi bisa subyek hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungannya. Misalnya pemegang hak atas tanah yang dijadikan jaminan, pemilik bangunan, tanaman dan/hasil karya yang ikut dibebani hak tanggungan.

b.      Pemegang Hak Tanggungan
Menurut Pasal 9 UUHT, Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Sebagai pihak yang berpiutang di sini dapat berupa lembaga keuangan berupa bank, lembaga keuangan bukan bank, badan hukum lainnya atau perseorangan.
Oleh karena hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, maka tanah tetap berada dalam penguasaan pemberi hak tanggungan. Kecuali dalam keadaan yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c Undang-undang Hak Tanggungan. Maka pemegang hak tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia dan dapat juga oleh warga negara asing atau badan hukum asing.

4.      Obyek
Obyek hak tanggungan adalah sesuatu yang dapat dibebani dengan hak tanggungan.
Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, maka obyek hak tanggungan harus memenuhi empat (4) syarat, yaitu:[5]
a         Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang. Maksudnya adalah jika debitor cidera janji maka obyek hak tanggungan itu dapat dijual dengan cara lelang.
b        Mempanyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitor cidera janji, maka benda yang dijadikan jaminan akan dijual. Sehingga apabila  diperlukan dapat segera direalisasikan untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya.
c         Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan pendaftaran tanah yang berlaku, karena harus dipenuhi "syarat publisitas". Maksudnya adalah adanya kewajiban untuk mendaftarkan obyek hak tanggungan dalam daftar umum, dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan atau preferen yang diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk itu harus  ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut  pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya.
d        Memerlukan penunjukkan khusus oleh undang-undang. Dalam Pasal 4 undang-undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah:
1)      Hak Milik (Pasal 25 UUPA);
2)      Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA) ;
3)      Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA);
4)      Hak Pakai Atas Tanah Negara (Pasal 4 ayat (D), yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Maksud dari hak pakai atas tanah Negara di atas adalah Hak Pakai yang diberikan oleh Negara kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum perdata dengan jangka waktu terbatas, untuk keperluan pribadi atau usaha. Sedangkan Hak Pakai yang diberikan kepada Instansi-instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial serta Perwakilan Negara Asing yang peruntukkannya tertentu dan telah didaftar bukan merupakan hak pakai yang dapat dibebani dengan hak tanggungan karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan. Selain itu, Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah juga bukan merupakan obyek hak tanggungan;
5)      Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara. (Pasal 27 jo UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.

5.      Sifat-sifat
Apabila mengacu beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka terdapat beberapa sifat dan asas dari Hak Tanggungan. Adapun sifat dari hak tangggungan adalah sebagai berikut:
a.       Hak Tanggungan mempunyai sifat hak didahulukan, yakni memiliki kedudukan yang diutamakan bagi kreditur tertentu terhadap kreditur lain (droit de preference) dinyatakan dalam pengertian Hak Tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996:
Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”,

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 pada angka 4 menyatakan:
Bahwa apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelengan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan yang diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi prefensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku”.

b.      Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi. Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”,

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan hutang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan,yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi”.

c.       Hak Tanggungan mempunyai sifat membebani berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanah juga berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan dapat saja dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.[6]

d.      Hak Tanggungan mempunyai sifat Accessoir. Hak Tanggungan menurut sifat accessoir dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 angka 8 menentukan bahwa:
Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya”.

Perjanjian pembebanan Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena ada perjanjian lain yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin. Dengan kata lain, perjanjian pembebanan Hak Tanggungan adalah perjanjian accessoir.

e.       Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat diberikan lebih dari satu hutang.
Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari suatu hutang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan:
Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu hutang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum”.

f.       Hak Tanggungan mempunyai sifat tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada.
Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek Hak Tanggungan itu berada berdasarkan Pasal 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan:
Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”.
Dengan demikian Hak Tanggungan tidak akan hapus sekalipun objek Hak Tanggungan itu berada pada pihak lain.

g.      Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat beralih dan dialihkan. Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
“Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditur yang baru.”
Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan karena mungkin piutang yang dijaminkan itu dapat beralih dan dialihkan. Ketentuan bahwa Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan yaitu dengan terjadinya peralihan atau perpindahan hak milik atas piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut atau Hak Tanggungan beralih karena beralihnya perikatan pokok.[7]

h.      Hak Tanggungan mempunyai sifat pelaksanaan eksekusi yang mudah.

Menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan dibawah kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Dengan sifat ini, jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan hutang. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung mengajukan permohonan kepada kepala kantor lelang untuk melakukan pelelangan objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.

6.      Pengalihan
Peraturan mengenai pengalihan hak tanggungan dimuat didalam Pasal 16 UUHT
1.      Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru.
2.      Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan.
3.      Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku tanah Hak Tanggungan dan buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat Hak Tanggungan dan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4.      Tanggal pencatatan pada buku-tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
5.      Beralihnya Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari tanggal pencatatan.

7.      Hapus
Pasal 18 ayat (1) UUHT; sebab-sebab hapusnya Hak Tanggungan :
a.       Hutang yang dijaminkan lunas
b.      Pelepasan hak oleh pemegang Hak Tanggungan
c.       Pembersihan Hak Tanggungan, berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
d.      Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan

B.     Jaminan Fidusia
1.      Definisi
Fidusia menurut asal katanya berasal dari bahasa Romawi fides yang berarti kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia
Istilah Jaminan Fidusia terdiri dari 2 kata yaitu: Jaminan dan fidusia. Kata jaminan berarti tanggungan atas pinjaman yang diterima.[8]
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia selanjutnya disebut UUJF dalam pasal 1 ayat 1 menyatakan:

“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya”.
Pengertian jaminan fidusia di atas dengan jelas menggambarkan, bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan pelunasan (pembayaran) utang debitur kepada kreditur. Utang debitur kepada kereditur dimaksud bisa terjadi karena perjanjian maupun karena undang-undang, yang berupa:
a.       Utang telah ada;
b.      Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu;
c.       Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi (pasal 7).

2.      Dasar Hukum
Pengaturan mengenai jaminan fidusia pada saat ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Yang mana di dalam Undang-Undang ini telah mengatur ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi, ditaati serta dilaksanakan dalam melakukan perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, termasuk ketentuan yang mewajibkan untuk mendaftarkan objek jaminan fidusia dikantor pendaftaran fidusia.
Selain terdapat pada UUJF, dasar hukum mengenai Jaminan Fidusia juga terdapat dalam PP Nimor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fiducia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

3.      Subjek
a.       Pemberi Jaminan fidusia
Pemberi Jaminan fidusia (debitor), merupakan orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

b.      Penerima Jaminan fidusia
Penerima Jaminan fidusia (kreditor), merupakan orang perseorangan atau korporasi yang memiliki piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia (Pasal 1 angka 6 UU No. 42 Tahun 1999).

4.      Objek
a.       Obyek Jaminan Fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan baik yang berwujud, yang terdaftar, tidak terdaftar, yang bergerak, tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan atau Hipotek (Pasal 1 butir 4 UUF). Mengenai obyek jaminan fidusia
b.      Pasal 10 UUF disebutkan bahwa:
1.       Jaminan Fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Yang dimaksud dengan “hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia” adalah segala sesuatu yang diperoleh dari benda yang dibebani jaminan fidusia.
2.      Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi obyek fidusia diasuransikan.

5.      Sifat-sifat
a.       Fidusia bersifat memaksa, karena dalam hal ini terjadi penyerahan hak milik atas benda yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia, walaupun tanpa penyerahan fisik benda yang dijadikan obyek jaminan.
b.      Dapat digunakan, digabungkan, dicampurkan atau dialihkan terhadap benda atau hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dengan perstujuan dari Penerima Fidusia.
c.       Bersifat individualiteit, bahwa benda yang dijadikan obyek jaminan fidusia melekat secara utuh pada utangnya sehingga meskipun sudah dilunasi sebagian, namun hak fidusia atas benda yang dijadikan obyek jaminan tidak dapat dihapus dengan begitu saja hingga seluruh utang teah dilunasi.
d.      Bersifat menyeluruh (totaliteit), fidusia mengikuti segala ikutannya yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan benda terhadap mana hak kebendaan diberikan.
e.       Tidak dapat dipisah-pisahkan (Onsplitsbaarheid), berarti pemberian fidusia hanya dapat diberikan untuk keseluruhan benda yang dijadikan jaminan dan tidak mungkin hanya sebagian saja.
f.       Bersifat mendahulu (droit de preference), bahwa Penerima Fidusia mempunyai hak yang didahulukan terhadap kreditur laimmua untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang dijadikan obyek jaminan fidusia
g.      Mengikuti bendanya (droit de suite), pemegang hak fidusia dilindungi hak kebendaannya, jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia.
h.      Harus diumumkan ( asa publisitas ), benda yang dijadikan obyek jamina  fidusia wajib didaftarkan, hal ini merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia

6.      Pengalihan
a.      Pasal 19
1)      Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditor baru.
2)      Beralihnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.

b.      Pasal 20
Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi objek jaminan Fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

c.       Pasal 21
1)      Pemberi Fidusia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia demgan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan.
2)      Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, apabila telah terjadi cidera janji oleh debitor dan atau Pemberi Fidusia pihak ketiga.
3)      Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang telah dialihkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diganti oleh Pemberi Fidusia dengan objek yang setara.
4)      Dalam hal Pemberi Fidusia cidera janji, maka hasil pengalihan dan atau tagihan yang timbul karena pengalihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), demi hukum menjadi objek Jaminan Fidusia pengganti dan objek Jaminan Fidusia yang dialihkan.
d.      Pasal 22
Pembeli benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang merupakan benda persediaan bebas dari tuntutan meskipun pembeli tersebut mengetahui tentang adanya Jaminan Fidusia itu, dengan ketentuan bahwa pembeli telah membayar lunas harga penjualan Benda tersebut sesuai dengan harga pasar.
e.       Pasal 23
1)      Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, apabila Penerima Fidusia setuju bahwa Pemberi Fidusia dapat menggunakan, menggabungkan, mencampur, atau mengalihkan Benda atau hasil dari Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, atau menyetujui melakukan penagihan atau melakukan kompromi atas piutang, maka persetujuan tersebut tidak berarti bahwa Penerima Fidusia melepaskan Jaminan Fidusia.
2)      Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.
f.       Pasal 24
Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dan hubungan kontraktual atau yang timbul dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

7.      Hapus
Hapusnya jaminan fidusia diatur dalam Pasal 25 UUJF, yakni jaminan fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut:
a.       Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.
b.      Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh debitor, dan
c.       Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

BAB III
PEMBAHASAN
A.    Persamaan Hak Tanggungan dengan Jaminan Fidusia
Hak Tanggungan
Jaminan Fidusia
1.      Persamaan hak tanggunan dan jaminan fidusial yaitu sama-sama menjelaskan tentang jaminan.
2.      Persamaan hak tanggunan dan jaminan fidusial sama-sama memiliki sifat kebendaan.
3.       Persamaan hak tanggungan dan jaminan fidusia sama-sama memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pelaku atau lembaga-lembaga ekonomi.

Subyek:
Pemberi dan penerima Hak Tanggungan. Pemberi Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan.
Penerima Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang
Subyek:
Pemberi dan penerima jaminan fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau badan hukum pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Penerima fidusia adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.

B.      Perbedaan Hak Tanggungan dengan Jaminan Fidusia
Hak Taggungan
Jaminan Fidusia
Dasar Hukum
1)     Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
2)     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria

Dasar Hukum
1)      Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
2)      PP Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fiducia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
Obyek:
a.      Pasal 4 ayat 1 UUHT:
1)      Hak Milik
2)      Hak Guna Usaha
3)      Hak Guna Bangunan
b.      Pasal 4 ayat 2 UUHT:
1)      Hak Pakai atas tanah negara yang wajib didaftarkan dan dipindah tangankan
c.      Pasal 27 UUHT:
1)      Rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun
Obyek:
a.   Benda yang dimiliki dan dialihkan kepemilikannya, baik berupa benda berwujud atau tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak yang bukan termasuk hipotik dan hak tanggungan, serta benda terdaftar atau tidak terdaftar.
b.      Pasal 10 UUJF:
1)     Jaminan Fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia.
2)     Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia diasuransikan.
Sifat-sifat
a.      Hak Tanggungan mempunyai sifat hak didahulukan, yakni memiliki kedudukan yang diutamakan bagi kreditur tertentu terhadap kreditur lain (droit de preference)
b.      Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi.
c.      Hak Tanggungan mempunyai sifat membebani berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
d.     Hak Tanggungan mempunyai sifat Accessoir.
e.      Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat diberikan lebih dari satu hutang.
f.       Hak Tanggungan mempunyai sifat tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada.
g.      Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat beralih dan dialihkan. Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan karena mungkin piutang yang dijaminkan itu dapat beralih dan dialihkan. Ketentuan bahwa Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan yaitu dengan terjadinya peralihan atau perpindahan hak milik atas piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut atau Hak Tanggungan beralih karena beralihnya perikatan pokok.
h.      Hak Tanggungan mempunyai sifat pelaksanaan eksekusi yang mudah.
Sifat-sifat
1)      Fidusia bersifat memaksa, karena dalam hal ini terjadi penyerahan hak milik atas benda yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia, walaupun tanpa penyerahan fisik benda yang dijadikan obyek jaminan.
2)      Dapat digunakan, digabungkan, dicampurkan atau dialihkan terhadap benda atau hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dengan perstujuan dari Penerima Fidusia.
3)     Bersifat individualiteit, bahwa benda yang dijadikan obyek jaminan fidusia melekat secara utuh pada utangnya sehingga meskipun sudah dilunasi sebagian, namun hak fidusia atas benda yang dijadikan obyek jaminan tidak dapat dihapus dengan begitu saja hingga seluruh utang teah dilunasi.
4)     Bersifat menyeluruh (totaliteit), fidusia mengikuti segala ikutannya yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan benda terhadap mana hak kebendaan diberikan.
5)     Tidak dapat dipisah-pisahkan (Onsplitsbaarheid), berarti pemberian fidusia hanya dapat diberikan untuk keseluruhan benda yang dijadikan jaminan dan tidak mungkin hanya sebagian saja.
6)     Bersifat mendahulu (droit de preference), bahwa Penerima Fidusia mempunyai hak yang didahulukan terhadap kreditur laimmua untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang dijadikan obyek jaminan fidusia
7)     Mengikuti bendanya (droit de suite), pemegang hak fidusia dilindungi hak kebendaannya, jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia.
8)     Harus diumumkan, benda yang dijadikan obyek jamina  fidusia wajib didaftarkan, hal ini merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia.
Pengalihan:
a.       Pasal 16
1.      Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru.
2.      Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan.
3.      Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku tanah Hak Tanggungan dan buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat Hak Tanggungan dan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4.      Tanggal pencatatan pada buku-tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
5.      Beralihnya Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari tanggal pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat

Pengalihan:
a.       Pasal 19
1)   Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditor baru.
2)   Beralihnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
b.     Pasal 20
Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi objek jaminan Fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
c.      Pasal 21
1)      Pemberi Fidusia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia demgan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan.
2)      Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, apabila telah terjadi cidera janji oleh debitor dan atau Pemberi Fidusia pihak ketiga.
3)      Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang telah dialihkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diganti oleh Pemberi Fidusia dengan objek yang setara.
4)       Dalam hal Pemberi Fidusia cidera janji, maka hasil pengalihan dan atau tagihan yang timbul karena pengalihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), demi hukum menjadi objek Jaminan Fidusia pengganti dan objek Jaminan Fidusia yang dialihkan.
d.      Pasal 22
Pembeli benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang merupakan benda persediaan bebas dari tuntutan meskipun pembeli tersebut mengetahui tentang adanya Jaminan Fidusia itu, dengan ketentuan bahwa pembeli telah membayar lunas harga penjualan Benda tersebut sesuai dengan harga pasar.
e.       Pasal 23
1)      Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, apabila Penerima Fidusia setuju bahwa Pemberi Fidusia dapat menggunakan, menggabungkan, mencampur, atau mengalihkan Benda atau hasil dari Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, atau menyetujui melakukan penagihan atau melakukan kompromi atas piutang, maka persetujuan tersebut tidak berarti bahwa Penerima Fidusia melepaskan Jaminan Fidusia.
2)      Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.
f.       Pasal 24
Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dan hubungan kontraktual atau yang timbul dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Hapus:
Pasal 18 ayat (1) UUHT; sebab-sebab hapusnya Hak Tanggungan :
1.      Hutang yang dijaminkan lunas
2.      Pelepasan hak oleh pemegang Hak Tanggungan
3.      Pembersihan Hak Tanggungan, berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
4.      Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
Hapus:
Hapusnya jaminan fidusia diatur dalam Pasal 25 UUJF, yakni jaminan fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut:
1.      Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.
2.      Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh debitor, dan
3.      Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.




BAB IV
PENUTUP/SIMPULAN
A.    Persamaan
Persamaan antara antara hak tanggungan dengan jaminan fidusia yaitu pada subyeknya, yaitu Pemberi dan penerima jaminan.
Selain itu, persamaannya adalah sama-sama memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pelaku atau lembaga-lembaga ekonomi.

B.     Perbedaan
Perbedaan antara hak tanggungan dengan jaminan fidusia intinya terletak pada jaminan yg dijaminkan oleh kreditur. Yaitu pada Hak tanggungan yang dijaminkan adalah sertifikat dari benda tidak bergerak, sedangkan pada Jaminan Fidusia yang dijaminkan adalah surat tanda kepemilikan benda bergerak.

C.     Hubungan
Hak Tanggungan dengan Jaminan Fidusia, jaminan fidusia dan hak tanggungan sangat berhungan, dengan kebendaan baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, baik yang berwujud atau tidak berwujud.



DAFTAR PUSTAKA
Harsono. Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok  Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2000.
Muljadi. Kartini dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Jakarta, Kencana, 2008.
Nurhayani. Neng Yani, Hukum Perdata, Bandung, Pustaka Setia, 2015.
Patrik. Purwahid, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 1986.
Pusat Bahasa Depertemen Pendidikian Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Edisi Ketiga), Jakarta, Balai Pustaka, 2002.
Satrio. J, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1991.
Sofwan. Sri Soedewi Masjchoen, Beberapa Masalah Pelaksanaan Jaminan Khususnya Fidusia di Dalam Praktik dan Pelaksanaannya di Indonesia, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan Liberty, 1977.
Sofwan. Sri Soedewi Masjchoen, Hak Jaminan Atas Tanah, Yogyakarta, Liberty, 1975.
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung, Alfabeta, 2003.
Syahrani. Riduan, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung, Alumni, 2006.
Usman. Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Kartika, Jaminan Fidusia, melaui <http://yukalaw.blogspot.co.id/2012/02/jaminan-fidusia.html>, data diunduh Sabtu, 12 Desember 2015 pada pukul 14:34.
Mutaqqin. Hadi, Subyek dan Obyek Jaminan Fidusia, melalui <http://pustakabakul.blogspot.co.id/2013/07/subyek-dan-obyek-jaminan-fidusia.html>, data diunduh Sabtu, 12 Desember 2015 pada pukul 14:24.
Nugraha. Sendi, Hak Tanggungan, melalui <http://sendhynugraha.blogspot.co.id/2013/04/hak-tanggungan.html>, data diunduh Sabtu, 12 Desember 2015 pada pukul 14: 49.
Saor. Fernandes Raja, Hak Tanggungan (subjek, objek, sifat, dan ciri), melalui <http://raja1987.blogspot.co.id/2009/06/hak-tanggungan-subjek-objek-sifat-dan.html>, data diunduh Sabtu, 12 Desember 2015 pada pukul 15:03.



[1] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Jaminan Khususnya Fidusia di Dalam Praktik dan Pelaksanaannya di Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan Liberty, 1977, hlm. 116.
[2] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hak Jaminan Atas Tanah, Yogyakarta: Liberty, 1975, hlm. 6
[3]  Purwahid Patrik, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 1986, hlm. 52
[4] Ibid, hlm 62.
[5] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok  Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 2000, hlm.425
[6] Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta, 2003, hlm. 26
[7]  Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Jakarta:Prenada Media, 2005, hlm. 105
[8]  Pusat Bahasa Depertemen Pendidikian Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Cetakan II, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 456.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar